• Untitle

    Mengutarakan apa yang tak mampu terucap. Lewat pena ku tuturkan segala yang ingin ku ungkapkan.

  • Sudut Pandang

    Menyoroti sesuatu dari kacamata seorang awam. Bisa benar atau juga salah. Tidak perlu saling menghakimi, kita hanya perlu saling menasehati dan menghargai segala perbedaan.

  • Ceracau

    Menulis menjadi suatu hal yang baru. Sulit, namun terasa begitu menyenangkan. Membagi sesuatu yang kita rasakan atau kita pikirkan kepada oranglain. Berharap semua membawa kebermanfaatan.

  • Sajak

    Melatih rasa dan membahasakan sesuatu yang di rasa. Melankolis katanya. Namun itu dapat melunakkan hati yang keras, dan mempesona hati yang lembut.

Sabtu, 22 Desember 2018

Desember

Sudah hampir di penghujung bulan desember. Memasuki desember tahun ini mengingatkan saya pada satu tahun silam, tepat di bulan ini lah tulisan pertama saya terbit. Tulisan berjudul "Stasiun Lenteng Agung" menjadi pioneer tulisan-tulisan selanjutnya.

Di awal-awal blog ini terbit, tulisan yang terekam mengajikan penggalan kisah dari keseharian penulis. Banyak juga berisi curhatan akan jatuh dan bangunnya perjalanan kasihnya. Maklum, blog ini tercipta karna saya ingin mengekspresikan segala yang saya rasakan, baik suka atau kisah duka saya.

Tidak terbayangkan, ternyata menulis itu menjadi candu hingga kini. Bahkan, menulis menjadi satu bentuk terapi psikologis bagi saya pribadi. Sudah satu tahun berlalu, saya merasa jauh lebih baik dan bisa lebih bijak dalam bersikap. Kenangan masa lalu sudah mulai bisa saya sikapi dengan baik. Terkadang kenangan yang terekam dalam tulisan-tulisan awal di blog ini membuat saya tertawa. Tergelitik dengan setiap kalimat yang tertulis di dalamnya. Duhai saya yang dulu itu amat lucu dan kekanakkan.

Kenapa tidak dihapus saja tulisan yang dulu-dulu?
Tidak. Saya tidak akan melakukannya. Meski saat itu saya terlihat sangat bodoh, tapi itu adalah karya saya yang pertama. Biarlah menjadi bagian dari kisah hidup saya sendiri. Toh tulisan itu ternyata sangat menghibur, meskipun isinya bukanlah hal yang lucu.

Sudah satu tahun. Semoga akan ada tahun-tahun berikutnya, juga tulisan-tulisan berikutnya yang bermanfaat.

#sabtulis #pekan51



Share:

Sabtu, 08 Desember 2018

Terkadang Kita Perlu Egois

Berubah menjadi seperti apa yang oranglain inginkan adalah suatu bentuk ketidakpercayaan diri. Suatu bentuk dimana seseorang tidak lagi bisa menghargai dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan predikat 'disenangi oranglain'.

Terkadang karna rasa ingin menyenangkan oranglain, kita lupa untuk tetap mempertahankan integritas dan prinsip yang kita miliki. Hingga akhirnya suatu perubahan kita pilih untuk dapat menyenangkan orang tersebut. Jika perilaku ini berlanjut secara berkesinambungan, bisa jadi hal tersebut akan merubah pribadi kita secara keseluruhan.

Pernyataan ini bukanlah ingin menggiring seseorang untuk tidak melakukan perubahan dalam dirinya. Tidak. Sama sekali tidak. Ini adalah seruan agar perubahan yang terjadi dalam diri kita bukanlah bersumber dari sekedar rasa 'tidak enakan' terhadap oranglain, tetapi perubahan akan dikatakan baik jika semuanya berlandaskan atas keinginan diri untuk memperbaiki dan memperbarui diri menjadi lebih baik lagi.

Mungkin kita pernah mendengar kalimat ini,  "Kita akan bisa melihat seseorang yang sebenernya jika kita telah mengatakan 'tidak' padanya". Maksudnya adalah, sebuah ekperimen terkadang perlu kita lakukan untuk melihat karakter seseorang yang sebenarnya, salah satunya adalah dengan mengatakan 'tidak' untuk sesuatu yang orang lain pinta dari kita. Jika setelah eksperimen itu dilakukan, maka amatilah sikap orang tersebut setelahnya. Apakah orang tersebut merubah caranya berinteraksi terhadap kita atau tidak. Jika berubah, apakah masih rasa 'tidak enakan' itu tetap kita jadikan landasan dalam berinteraksi?

Terkadang kita juga perlu egois. Mengekspresikan diri, ketidaksukaan, ketidaknyamanan, ketidaksetujuan, atau apapun yang kita rasakan secara bebas tanpa memikirkan rasa yang kita sebut 'tidak enakan'. Jangan menumpuknya. Dan jangan menunggu hingga waktu menjadikannya sebagai Bom Atom.

#sabtulis #pekan49

Share:

Sabtu, 01 Desember 2018

Along with The Gods

Along with the gods, adalah judul dari sebuah film asal Negeri Gingseng, Korea, yang menjadi teman setia di kala waktu makan siang tiba. Film ini ada dua seri. Aku baru selesai menonton seri pertama, dan seri kedua masih on the way 😬. Film ini diperkenalkan oleh seorang teman, katanya jalan ceritanya sangat bagus. Dan harus mengikuti seri pertama terlebih dahulu supaya "nyambung" saat menonton seri keduanya, karna ternyata kedua seri ini saling berhubungan.

Film ini menceritakan tentang perjalanan seseorang yang telah meninggal dunia. Perjalanan alam akhirat untuk di hisab segala amal perbuatannya. Seseorang akan dihadapkan dengan 7 persidangan pada 7 neraka. Setiap neraka memiliki nama, dan seseorang akan di dakwa sesuai dengan nama neraka tersebut. Jika dinyatakan bersalah, maka ia akan mendapatkan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim (Seorang dewa) neraka. Sedangkan, jika ia dinyatakan tidak bersalah, maka ia akan diberi kesempatan untuk reinkarnasi, tentu setelah melewati 7 persidangan yang ada.

Di film ini juga di ceritakan betapa sulitnya perjalanan seseorang dari satu sidang neraka ke sidang neraka berikutnya karna adanya arwah pendendam. Arwah pendendam ini adalah arwah yang menyimpan dendam pada seseorang yang sudah meninggal. Dalam perjalanannya, orang meninggal akan terus di ikuti dan di celakai oleh arwah pendendam, tujuannya adalah agar orang meninggal tersebut lenyap dan tidak dapat mencapai reinkarnasi.

Tapi, layaknya sebuah persidangan di dunia nyata, persidangan akhirat dalam film ini juga menghadirkan pengacara yaitu malaikat pembela dan juga jaksa penuntut. Masing-masing memegang peran yang sama seperti di dunia.

********

Seperti itu lah fitrah manusia. Setiap yang hidup pasti akan menemui kematian. Dan kematian bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup. Sebab, setelah kematian akan ada kehidupan lain yang siap dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan.

#sabtulis #siklus

Share:

Sabtu, 10 November 2018

Kabar Bahagia

Beberapa bulan terakhir ini, banyak kabar bahagia yang menghampiri saya. Kabar tersebut datang dari teman-teman terdekat. Kabarnya memang tidak jauh dari yang namanya jodoh dan pernikahan. Sebagian membagikan kabarnya lewat undangan, dan sebagian lagi berkabar bahwa sedang berada dalam tahap menuju pernikahan.

Saya senang mendengar kabar bahagia dari mereka semua. Satu persatu teman-teman saya menemukan tambatan hatinya. Mungkin setelahnya, saya pun bisa berbagi kabar serupa kepada mereka, heehee..

Saya hanya bisa berdo'a, semoga Allah melancarkan urusan mereka masing-masing. Baik yang akan segera melangsungkan pernikahan, atau yang masih dalam masa penjajakan. Semoga Allah menjodohkan kita dengan pasangan yang sholeh atau sholehah.  Aamiin..

#sabtulis #pekan45

Share:

Sabtu, 03 November 2018

Ibu Baru

Katanya...
Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ia mengajar bahkan sejak sang anak masih disebut utun atau janin. Ia memperkenalkan dunianya yang fana pada tubuh yang baru saja berkembang. Berbagai kalimat juga bising ia perdengarkan pada pada jiwa yang masih ringkih dan asing.

Di tanah pasundan sana, ada seorang wanita. Yang katanya, menyandang sebutan baru. Ia adalah seorang wanita yang terbiasa berbagi ilmu pada jiwa yang asing. Kini, ia mengemban amanah baru dan tanggungjawab baru. Bukan hanya membagi pada yang asing, namun juga menjadi madrasah, menjadi dunia, juga akhirat bagi seorang ringkih yang menyandangkannya sebutan Ibu.

Untukmu kawan, sang ibu mungil dari seorang bayi yang juga mungil. Selamat menjadi ibu 😊

#sabtulis #pekan44

Share:

Sabtu, 13 Oktober 2018

Berubah

"Suatu hari akan ada seseorang yang kedatangannya akan merubah hidup kita"

Dan hari itu bagiku sudah datang. Bahkan sudah berlalu. Meski perubahanku masih tetap berjalan, hingga detik ini.

Aku merasa ada yang berbeda. Aku pikir hanya aku yang merasakannya, tapi ternyata orang di sekitarku pun berargumen yang sama. Katanya aku kini berubah. Bahkan ada yang selalu berkata aku terlihat lebih banyak diam.

Kehadirannya telah merubah segalanya. Pun saat dia berlalu pergi. Juga apa yang aku alami setelahnya.

Pengalaman ini memberiku banyak pelajaran. Bahkan aku putuskan untuk menuliskannya dalam "Don't be Naive". Sekarang motivasiku adalah bangkit dan mengembalikan diriku seperti semula. Sabtulis pekan lalu bertema Bangkit, dan aku pun menulisnya. Aku takkan menjadikan diri ini lemah dan menyerah pada keadaan. Karna yang menjadi tuan dari diri ini adalah Aku, bukan perasaanku.

#sabtulis #pekan41

Share:

Sabtu, 06 Oktober 2018

Be Strong and Move on

Jika diri dihadapkan pada sebuah masalah yang menghasilkan luka teramat parah, tentu jiwa akan merasakan sakitnya. Jatuh, terpuruk, terjerembab pada lubang penyesalan tiada berdasar. Tertutup. Menyendiri. Depresi. Menyalahkan diri sendiri, keadaan, bahkan Tuhan.

Lalu apa lagi yang harus diperbuat?
Haruskah terus-menerus terpuruk dan meratapi keadaan?

Selagi nafas masih berhembus. Nadi masih berdenyut. Jantung masih berdetak. Maka selama itu pula masalah akan datang silih berganti. Amat kerdil dan tumpulnya hati juga pikiran jika diri membiarkannya mudah terkalahkan oleh keadaan.

Tidak ingat?
Lupa kah kita?

Saat kalam Sang Maha Cinta diperdengarkan, "Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu" (Ali-Imran : 186).
Juga sabda dari kekasih-Nya, "Sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan mendatangkan cobaan kepada mereka. Dan barangsiapa rela dengan ujian itu, maka dia akan memperoleh kerelaan-Nya. Dan barangsiapa membencinya maka dia akan memperoleh kebencian-Nya" (HR. Tirmizi, 2396 dan Ibnu Majah, 403).

Maka ikhlaskanlah wahai diri. Maka ikhlaskanlah wahai hati. Bukankah Tuhan adalah sebaik-baiknya pengatur segala urusan? Tugas kita hanyalah menjalankannya. Jika jatuh maka bangkit. Jika terpuruk jangan terlalu lama merajuk. Sesungguhnya setelah kesusahan akan datang kebahagiaan. Layaknya pelangi yang datang setelah redanya hujan. Be strong! And move on!

#sabtulis #pekan40

Share:

Sabtu, 29 September 2018

Melepasmu

Tidak ada yang kekal dan abadi di dunia ini. Mungkin juga jalinan simpul denganmu ini.

Melepaskan lagi. Sekali lagi. Kini, giliran melepaskan dirimu. Seseorang yang sedikit banyak memberi pengaruh dalam diri ini.

Ini memang bukan pengalaman pertamaku melepas seseorang pergi, tapi tetap saja hal ini memberi bekas di hati, atau setidaknya meninggalkan bekas yang begitu jelas di pipi.

Dear kamu,
Seseorang yang terlalu sering aku paling twins, meski nyatanya kita jauh berbeda. Terimakasih atas segala ilmu, kesabaran, juga akhlak yang begitu mempesona. Terimakasih karna telah menjadi teman dan juga teladan yang baik bagi diri ini yang masih jauh tertinggal di bawah. Maaf jika ternyata kekhilafan yang pernah aku perbuat tidak sengaja membuatmu terluka. Aku yakin kebesaran hatimu pasti mengalahkan sakitnya.

Tiada harap serta do'a selain untuk kebaikan dan kebahagianmu. Semoga dimanapun dirimu berada, kamu tetap menjadi teladan dan menginspirasi banyak orang.

Twins, di jalan ini kita bertemu, meski nanti arah kita mulai berbeda, aku yakin tujuan kita masih tetap sama 😊

#sabtulis #pekan39

Share:

Sabtu, 22 September 2018

Rumput Tetangga

"Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih indah"

Pasti kalimat itu sering sekali kita dengar. Yaa, memang terkadang hal itu adalah benar adanya. Tapi, bisa juga sebaliknya. Semua bergantung pada sudut pandang masing-masing orang.

Jika kita adalah tipikal yang senang membanding-bandingkan sesuatu, biasanya kita akan sampai pada rasa ketidakpuasan pada diri sendiri dan tentu saja iri. Jika kita adalah seseorang yang senang mengamati, tentu biasanya kita akan berpikir bagaimana perjuangan si pemilik dalam merawat rumputnya hingga tumbuh dengan begitu indahnya. Kemudian memetik pelajaran darinya. Hanya saja, hal ini mungkin jarang dijumpai. Lebih banyak orang termasuk pada tipikal yang pertama. Iri.

Terkadang, sesuatu itu memang lebih indah dinikmati dari luar. Padahal jika menilik lebih dalam, kita akan menemukan kerjakeras dan peluh yang mungkin akan sedikit menggeser pandangan indah tersebut.

#sabtulis #pekan38

Share:

Sabtu, 15 September 2018

I just...

Pasti kalian sering mendengar tentang "Manusia tidak bisa hidup sendiri" atau, "Manusia itu hidup berkelompok".

Bagaimana pandangan kalian soal ini?

Saya rasa pendapat ini memang benar adanya. Setiap orang tumbuh besar dalam lingkup kelompok tertentu. Skala kecilnya adalah keluarga. Biasanya semua anggota akan saling bergantungan satu sama lain. Mungkin lebih tepatnya saling melengkapi. Dan kabar baiknya adalah, lingkup terkecil ini merupakan kumpulan orang-orang yang paling memahami dan menghargai para anggota di dalamnya.

Jika kita perluas, kelompok lainnya adalah lingkup pertemanan atau lingkup masyarakat. Lingkup pertemanan terkadang bisa jadi pengganti keluarga. Katanya, lingkup ini bisa menyamai keluarga dalam hal memahami dan menghargai. Meski, mungkin tidak sesempurna keluarga. Atau mungkin, keberadaannya justru lebih sempurna dari keluarga. Pandangan ini tentu akan berbeda-beda di setiap orangnya. Banyak faktor yang membedakannya, terutama dari faktor kedekatan emosional orang tersebut.

Tapi, bagaimana dengan orang yang suka menyendiri? Atau orang yang menyebut dirinya seorang introvert?

Meski orang-orang tersebut terkesan "Asik sendiri", mereka tetap berkelompok. Kelompok yang saya maksud disini bukan hanya keluarga, tetapi juga pertemanan. Meski biasanya mereka hanya menempatkan sedikit saja orang dalam kelompoknya. Yap, hanya se-di-kit. Sedikit artinya spesial. Mereka bisa saja berteman dengan banyak orang layaknya orang lain, hanya saja mereka memberikan space khusus bagi sedikit orang untuk menjadi bagian dari dirinya yang sebenarnya. Jadi bagian terdekat hingga dapat leluasa mengungkapkan segala yang bisa atau tidak bisa dia ungkapkan pada orang lain, dan membagi segala yang tidak pernah bisa dia bagi pada orang lainnya.

Yang saya tau, introvert banyak tingkatannya. Mungkin saya bukan termasuk dalam deretan introvert tingkat atas, yang katanya tingkat terparah. Saya mungkin bagian terendah. Jika ditanya, saya bisa saja bercerita. Terkesan seperti seorang ekstrovert juga di waktu yang lain.

Saya hanya membiasakan diri untuk diam. Tidak berusaha nimbrung dalam obrolan orang sekitar. Saya pikir ada beberapa hal yang menyebabkan saya seperti itu. Saya sering ingin di dengar tapi hanya bisa menjadi pendengar. Rasanya apa yang saya bicarakan selalu tidak penting dimata oranglain. Suara yang terabaikan saya menyebutnya. Di lain hal, diam pun menjadi masalah. Katanya terlalu serius dan kaku. Hal ini sebenarnya menggelitik, karna teman dekat saya pasti tau kalau saya adalah tipikal cerewet ulung dan humoris. Ternyata diam saja pun sama tak menguntungkannya.

Alasan lainnya adalah rasa kepercayaan yang mulai luntur, atau mungkin sudah menghilang pada sebagian teman. Yaa, saya sempat beberapa kali mengalami kejadian tidak menyenangkan karna seseorang yang saya sebut teman dekat, sahabat. Traumatik berkepanjangan hingga saat ini.

Saya bukan seorang pendendam. Mungkin karna saya dikaruniai sifat kewanitaan yang berlebih, yang katanya gampang memafkan tapi sulit melupakan. Dan itulah yang saya alami. Saya masih berteman baik, hanya saja saya membatasi diri. Lingkup pertemanan spesial pun mulai menghilang. Saya tidak tau siapa saja yang tersisa di dalamnya, atau bahkan sudah tidak ada? Saya tidak membuat presensinya saat ini. Mungkin nanti, jika trauma itu sudah menghilang.

Kelompok yang dulu amat dekat, menjadi amat jauh, bahkan untuk sekedar berbagipun saya enggan. Kelompok yang baru pun demikian. Kelompok lainnya mungkin sebagian. Pada akhirnya, saya tersadar, memang keluargalah kelompok terbaik.

Saya hanya membutuhkan sebuah hubungan yang tulus, yang bisa dirasakan, bukan hanya dilihat.

#sabtulis #pekan37


Share:

Sabtu, 08 September 2018

Hijrah??

Menyambut datangnya tahun baru Hijriyah 1440H atau 1 Muharram yang tinggal beberapa hari lagi, kali ini saya ingin membahas sedikit mengenai Hijrah.

Apa itu hijrah? Secara bebas kita biasa mengartikannya sebagai suatu kegiatan perubahan. Akhir-akhir ini kata hijrah lebih dekat digunakan untuk mewakili suatu perubahan yang dilakukan dari sisi agamis seseorang. Contohnya perubahan seseorang dari tidak berjilbab menjadi berjilbab, laki-laki yang mulai beralih menggunakan celana cungkring, memanjangkan jenggot, dan perubahan-perubahan spiritual lainnya.

Tapi, tahukah kalian bahwa definisi sesungguhnya mengenai hijrah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah:

1. Perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 
2. v berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya);

Atau kalau boleh disimpulkan hijrah adalah "Pindah".

Menelaah lebih jauh ke belakang, sejarah mengenai kata hijrah itu sendiri lebih relefan dengan arti kata yang dikemukakan oleh KKBI daripada definisi bebas yang biasa kita gunakan. Hijrah adalah suatu peristiwa berpindahnya kaum muslimin dari wilayah Mekkah ke Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya yang beriman.

Peritiwa tersebut adalah cikal bakal penetapan Kalender Hijriyah, yang mana kalender tersebut mulai digunakan pada masa kekalifahan Umar bin Khatab.

Berbicara mengenai penyambutan tahun baru, antara tahun baru masehi dan tahun baru hijriyah sepertinya mendapat perlakuan yang berbeda. Orang-orang cenderung akan heboh dan merayakan secara besar-besaran ketika tahun baru masehi akan datang. Menyambut dengan penuh suka cita bahkan mempersiapkannya jauh-jauh hari. Sedangkan bila tiba saatnya memasuki tahun baru hijriyah, orang-orang cenderung menyambutnya dengan "Lupa". Yap, lupa. Padahal di dalam kalender masehi, keduanya sama-sama berwarna merah.

Tahun baru masehi biasanya juga disambut dengan membuat resolusi. Me-list impian, harapan, dan perubahan yang ingin dicapai di tahun yang baru. Tapi ada yang terlupa disana, yaitu muhasabah. Sedangkan tahun baru hijriyah, tidak banyak orang yang melakukan resolusi atau muhasabah. Padahal lewat sejarahnya saja kita di ajak untuk bermuhasabah. Di ajak untuk memaknai kata melakukan perpindahan. Pindah dari kemungkaran menuju kebajikan. Pindah dari masa yang kelam ke masa yang terang benderang.

Suatu penyikapan yang terbalik menurut saya. Terlebih kita adalah bangsa yang mayoritas memeluk agama islam. Seharusnya perlakuan istimewa lebih tepat kita berikan pada tahun baru hijriyah.

Masih ada waktu beberapa hari lagi untuk menyambutnya. Sebenarnya tidak ada yang namanya perayaan, mungkin lebih tepatnya kita memperbanyak muhasabah. Bukan bearti muhasabah dilakukan hanya setahun sekali pada saat tahun baru saja, tapi ini adalah cara terbaik untuk menyambut tahun baru itu sendiri. Dan satu lagi, tahun baru hijriyah biasa disebut juga lebaran anak yatim. Jika ingin merayakan tahun baru hijriyah, mungkin perayaan yang tepat adalah dengan berbagi rezeki bersama mereka.

Mari kita maknai tahun baru hijriyah kali ini dengan ber-hijrah. Hijrah secara besar-besaran.

#sabtulis #pekan36

Share:

Sabtu, 01 September 2018

Hidden Rain

Kemarin sabtulis meluncurkan tema untuk menulis pekan ini. Temanya Hujan. Kamu tau, tadi siang saat mataku hendak terpejam kembali, aku terperanjat karena mendengar suara hujan. Tidak deras, tapi juga tidak ringan. Suaranya terdengar sedang-sedang saja. Tetiba pintu terbuka, ternyata mamah hendak masuk, dan aku bertanya:

"Hujan yaa mah?"
"Ngga, hujan darimana, tuh ini terang-terang aja"
"Masa? tadi aku denger hujan koq"
"Ngga ada ahh, hujan darimana coba. Aneh kamu"

Ohh yaa? Tidak hujan? Tapi kenapa suara hujan itu terasa begitu nyata di siang bolong tadi. Sungguh ke-halu-an yang hakiki.

Halu tentang hujan, mengingatkan aku pada sosokmu. Menurutku kamu sama seperti hujan. Awalnya terasa begitu menyejukkan, tapi pada akhirnya juga terasa menyakitkan karna hawa sejuk yang lebih cenderung mendekati hawa dingin. Sangat menusuk.

Hujan biasanya memberi tanda jika hendak datang, dengan menyebarkan bau tanah basah atau meredupkan cahaya yang dimiiliki langit. Kamu tau, disini kamu pun sama dengannya. Salam perkenalan dan lugu bahasamu berbasa-basi menandakan kedatanganmu di kehidupanku saat itu.

Pun saat hujan reda. Kamu pun sama dengannya, berhenti menyapa begitu saja, tanpa memberi tanda keberpamitan. Tiba-tiba sapaan itu hilang, kemudian diikuti dengan wujudmu yang sirna. Kamu dan hujan, kenapa begitu banyak kesamaan?

Tapi diantara waktu kedatangan dan kepamitan kalian, aku menikmati setiap detik kebersamaanku dengan kalian. Hujan yang selalu ada saat aku ingin menyembunyikan air yang jatuh dari mataku, terlebih jika itu karna dirimu. Hujan jugalah yang menyelamatkanku, saat egoku mengalahkan keimananku.

Setiap detik denganmu pun sama beartinya bagiku. Dan aku tak menafikan hal itu. Hanya saja, hujan lebih aku sukai daripada dirimu. Kamu tau kenapa? Karna hujan selalu membuatku jauh lebih baik dari sebelumnya.

*Kamu, seseorang yang masih saja aku ingat saat hujan turun

#sabtulis #pekan35

Share:

Sabtu, 25 Agustus 2018

Receh, Tapi Tidak Bagiku

Setelah sekian lama akhirnya aku dapat bertemu kembali dengan mereka. Orang-orang yang sejak dulu selalu memberikan aku energi dan semangat yang luar biasa.

Hari ini aku berkumpul lagi dengan mereka setelah selama sebulan lebih aku absen. Absen karna ketidakjelasan. Sempat ragu, juga takut kalau-kalau ketika aku datang mereka akan menyambut dengan pandangan seorang hakim yang sudah siap menghakimi terdakwa.

Pikiran yang konyol memang, tapi aku rasa itu sah-sah saja karna kebanyakan orang biasanya akan memberikan tatapan yang fokus, dalam,  dan penuh tanya ketika melihat temannya yang menghilang tanpa alasan sekian lamanya akhirnya datang kembali. Yaa, setidaknya itu menurutku.

Tapi ternyata hal itu tidak berlaku untuk mereka. Tidak ada tatapan fokus nan dalam apalagi penuh pertanyaan. Hanya ada sapaan ringan dan sambutan penuh hangat yang mereka tebarkan. Rasanya segala kekhawatiran yang tumbuh di dalam hati berguguran.

Sepertinya mereka mengerti, bahwa pertanyaan bukanlah hal yang tepat untuk menyambut kehadiranku lagi. Mereka membuatku nyaman dengan sikap ramah mereka.

Mungkin ini receh bagi sebagian orang, tapi tidak bagiku. Terlebih untuk saat ini, dimana aku sedang merasa kehilangan begitu banyak kepercayaan pada pertemanan. Hal yang mereka lakukan adalah sebuah penghargaan, penyemangat untuk terus aktif dan tidak absen lagi di pertemuan-pertemuan berikutnya. Juga membuatku percaya untuk kembali memupuk benih-benih pertemanan.

Terimakasih yaa 😊😊😊

#sabtulis #pekan34

Share:

Sabtu, 18 Agustus 2018

Explore Sukabumi Yuk!

Ada yang udah pernah ke sukabumi? Lebih tepatnya ke daerah wisatanya, pantai geopark dan curug sodong.

Kemaren aku baru saja jalan ke dua tempat itu. Awalnya sih destinasinya ke ujung genteng dan curug cikaso, tapi karna sedang kemarau dan curugnya kering, akhirnya destinasi berubah total.

Aku berenam. Dua orang itu adalah temen aku yang sudah la aku kenal, dan sisanya aku baru saja aku kenal saat trip. Titik kumpulnya di stasiun pasar minggu. Nah kami bertemu disana, sekalian juga menunggu jemputan dari pihak open trip nya.

Kira-kira kami jalan jam 12 malam. Molor 2jam dari jam yang telah disepakati. Sebelum jalan kami di ajak ke basecamp pihak trip nya terlebih dulu, entah untuk apa. Kami hanya diminta menunggu di sebuh musolah dekat basecamp.

Jam 12 malam kami berangkat. Ternyata perjalanan ke sukabumi itu jauh. Sebenernya mataku sangat mengantuk saat dijalan, cuma apa daya, karna drivernya mengendarai secara ugal-ugalan macam sedang balapan mobil, mata tidak bisa tertutup rapat, sebentar-sebentar pasti bangun. Mobil di rem mendadak terus. Tapi syukurnya jalanannya sudah bagus dan mulus, jadi tidak terlalu sakit lah badan.

Sekitar jam 5 pagi kami sampai di area bukit-bukit. Kami berhenti sebentar disana untuk foto-foto. Dari kami berenam, yang berani untuk naik ke atas bukit hanya aku dan temenku umi, yang lain katanya sudah cukup puas berfoto di area jalan dengan background lautnya. Seperti ini penampakannya dari atas bukit. 


Setelah itu kami lanjut ke destinasi pertama. Sebenarnya ini adalah destinasi tambahan, hanya saja lebih asik untuk dinikmati di awal. Namanya Puncak Darma. Disana kami disajikan pemandangan yang cukup beragam, dan tentunya indah. Disebelah kanan ada bukit-bukit, sebelah kiri ada sawah dan jalanan berliuk-liuknya, dan dibagian puncaknya kami dapat melihat luasnya pantai yang terbentang. Benar-benar pemandangan yang bikin amazed.



Tapi saat itu angin sangat kencang, jadi kami tidak bisa terlalu lama berada disana. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Geopark. Menurut aku pantai ini tidak terlalu indah. Warna airnya coklat, pasirnya pun hitam. Tidak banyak fasilitas permaianan air yang disediakan. Hanya ada satu banana boat saja. Agak bingung mau melakukan aktifitas apa disana.

Perjalanan berlanjut ke destinasi terakhir, Curug Sodong. Kami sampai sebelum jam 12 siang. Sebelum terjun ke curug, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dulu. Pihak trip sudah menyediakan santapannya. Sekitar jam 1 siang kami menuju curug. Di curug sodong ternyata ada 2 spot curug. Dibawah dan diatas. Kalau dibawah, kita bisa langsung menikmati curugnya dengan mudah, karna areanya dekat dari pondok makan dan jalan menuju curug sudah disemen. Berbeda dengan curug yang diatas, kita memerlukan tenaga ekstra untuk dapat sampai disana. Jalan nya masih berupa batu dan tanah yang dibuat menyerupai tangga. Jarak antara satu anak tangga ke tangga berikutnya tinggi-tinggi. Bagiku yang jarang berolahraga, ini sangat melelahkan.

Setelah melewati tangga-tangga alami itu, kami juga masih harus melewati sungai penuh batu. Juga jembatan reot. Agak scary yaa. Tapi setelah sampai di curugnya, wah puas banget . Curug ternyata terbagi menjadi 3 layer dengan 3 air terjun di masing-masing layernya. Kalau pernah menonton film Black Panther pasti ingat bagaimana bentuk sungai yang menjadi tempat Raja T'Chala melakukan battle, layer 2 curug sodong itu hampir sama dengan sungai di film itu. Melihat itu aku jadi ingin bilang "WAKANDA FOREVER" haahaa .
Perjalanan sehari ini adalah yang pertama kalinya aku lakukan. Tapi rasanya bikin nagih.  Buat kalian yang belum pernah kesana, aku rekomendasiin buat datang kesana. Terutama Puncak Darma dan Curug Sodong. Kalau mau ajak aku juga tidak apa-apa .

#sabtulis #pekan33
Share:

Minggu, 12 Agustus 2018

Rasa yang Aneh

Ada yang aneh rasanya.
Disini.
Tepat dititik ini.
Dihatiku.
Yang entah jika ditanya kenapa, aku pun tidak bisa menjelaskannya.

Share:

Sabtu, 11 Agustus 2018

Menyadarkan Diri Sendiri

Bertemu kembali dengan hari sabtu. Beberapa kali absen rupanya cukup membuat rindu untuk kembali menyapa. Terlebih ada saja yang selalu bertanya setiap pekannya, "Kamu nulis apa hari ini?", jadi terharu heehee..

Sebetulnya hari ini agak membingungkan, apa kiranya yang ingin saya bagi. Sebab, terlalu lama absen membuat otak sedikit tumpul untuk berpikir,  juga membuat kelu jemari untuk sekedar mengetik beberapa kata disini. Tapi demi rindu pada sabtulis, juga menjawab pertanyaan beberapa orang,  saya berusaha untuk kembali.

Jika bertanya pada saya apa yang menyebabkan saya absen beberapa minggu ini,  sebenarnya jawabannya hanya satu, tidak ada ide. Belum ada hal menarik yang terjadi dalam hidup saya atau kejadian yang menarik saya untuk menuliskannya (sebuah kamuflase dari kata malas menulis). Berbeda dengan beberapa orang yang (mungkin) sempat absen dari menulis karna sibuk dengan kesehariannya. Juga karna berpikir tulisan mereka tidaklah mengandung manfaat (sebuah kamuflase dari kata mambatasi diri).

Sungguh amat di sayangkan memang, jika semua kemampuan diri terbunuh oleh penilaian diri sendiri. Terbatasi oleh pandapat buruk diri sendiri. Memproklamirkan bahwa pendapat kita saja lah yang terbaik. Apa kita Tuhan? Bahkan yang menjawab bahwa "Tuhan bagi diri kita adalah diri kita sendiri" memiliki kelemahan yang sangat fatal. Kita adalah pinjaman. Jasad, rohani, materi, semua bukankah titipan-Nya?. Andaipun kalimat "Tuhan bagi diri kita adalah diri kita sendiri"  tidak terbantahkan, akankah Tuhan itu mengekang hambanya?

Kita tidak akan pernah tau seberapa bermanfaatnya tulisan kita sampai suatu saat ada yang menyadarkan kita akan sebegitu besarnya manfaat yang dirasakan oleh oranglain dari tulisan kita.

Mungkin suatu saat kita akan sadar ketika ada seseorang yang berkomentar,
"Tulisan kamu menggambarkan aku banget"
"Tulisan ini yang aku cari"
"Kamu nulis apa hari ini? Aku nungguin loh"
"Kemarin kamu ngga? Koq notifikasinya belum masuk ke email aku? "
"Makasi yaa tulisannya,  aku suka banget"
"Bikin tulisan tentang aku dong"
Dan mungkin akan lebih banyak lagi komentar-komentar yang akan kita dapatkan untuk sedikit menyadarkan kita bahwa kebermanfaatan yang kita buat memamg terkadang tidak dapat kita sadari, tapi justru dirasakan oleh oranglain.

Yuk, semangat kembali menulis. Bukan hanya buat kalian, tapi ini juga untuk saya :-)

Share:

Sabtu, 14 Juli 2018

Jarak

Jarak. Satu kata yang entah kenapa beberapa hari ini selalu terlintas dalam pikiran saya. Entah apa juga istimewanya kata ini. Secara berulang kata ini hadir lagi dan lagi dalam pikiran, seakan mengajak saya untuk mencari tau pesan apa yang tersirat di dalamnya.

Apakah saya sedang berjarak? Begitu?
Dengan apa? Atau, siapa?

Rasa penasaran tidak lagi bisa dibendung. Maka untuk mencairkannya saya mencari makna kata jarak itu sendiri.

Menurut KKBI, Jarak adalah ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat.
Ruang sela? Antara dua benda? Antara dua tempat?

Pengertian ini membagi pemahaman saya menjadi dua. Pertama jarak saya dengan Dia. Kedua, jarak saya dengan dia. Huh,  lagi lagi harus disangkutpautkan dengan dia. Saya enggan memikirkan lebih jauh mengenai jarak yang terbentang antara saya dengan dia. Akan lebih baik bagi saya untuk lebih menyoroti keberjarakan saya dengan Dia.

Saya lemparkan memori jauh ke belakang. Ke beberapa hari hingga bulan juga tahun tahun yang lalu. Seberapa jauh jarak yang nyatanya saya cipta sendiri. Mungkin Dia rindu, sebab jarak-Nya dengan saya menjauh. Salah. Bukan jarak-Nya, tapi jarak saya yang menjauh.

Cara-Nya merindu memang selalu unik. Selalu memberi saya kesan yang mendalam. Kadang rindu-Nya berupa teguran kecil namun nyelekit,  kadang juga dengan kasih yang begitu bertubi-tubi, dan sekarang, rindu-Nya mencoba merasuki pikiran atau bahkan alam bawah sadar saya.

Maafkan saya yang begitu jauh memberi jarak,  juga terimakasih atas rindu yang begitu menggebu, hingga membuat saya ingin berlari untuk mendekat. Tunggulah. Tunggu saya dalam sepertiga malam. Biarkan saya menghapus sedikit demi sedikit jarak, juga membalas rindu yang menggebu itu secara patut.

#sabtulis #pekan28

Share:

Sabtu, 30 Juni 2018

You Have Memories with...

"You have memories with........ "

Pasti pengguna jejaring sosial media Facebook tidak asing dengan pesan diatas. Yap,  pesan yang menggiring penggunanya kembali mengingat jejak aktivitas yang telah terekam tempo dulu. Pesan dapat berisi tentang history pertemanan, post status,  bahkan sampai comment pengguna di jejaring sosial tersebut. 

Bicara mengenai memories atau kenangan, saya ingat betul sebuah kalimat yang pernah disebutkan oleh seorang teman dekat saya mengenai satu kata itu.  Katanya begini,  "Setiap apa yang kita lalui itu pasti akan terkenang".

Iyaa, terkenang. Akhirnya yaa jadi kenangan. Terpatri dalam memori otak kita yang terkadang kita ingin dan senang mengingatnya kembali,  atau mungkin sebaliknya, hingga berandai jika saja semuanya tidak pernah terjadi atau jika bisa waktu diputar kembali ke masa itu dan menahan si ego untuk tidak melakukan perbuatan itu. Namun, sayang di sayang pengandaian itu adalah sebuah keniscayaan. 

Sebut saja semua kejadian yang setiap lembar kenangannya ingin ditutup itu sebagai sebuah kesalahan, sebuah kegagalan. Dalam lanjutan kalimatnya, teman saya lagi-lagi memberikan statement syantiknya.  Seperti ini katanya, "Disitu lah ada yang namanya pelajaran".

Pelajaran. Sekali lagi saya sebutkan, Pe-la-ja-ran. Tuhan tentu tidaklah memberikan sesuatu tanpa makna bagi setiap hamba-Nya. Kita bisa tengok persembahan cintanya berikut ini, "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
(QS: al-'Ankabuut Ayat: 2)". Oooo,  tentu saja tidak.

Tuhan akan memberikan kita begitu banyak ujian selagi nyawa masih dikandung badan. Yang menentukan lulus atau tidaknya adalah usaha kita sendiri dalam memaknai maksud Tuhan,  bukan memperdebatkannya dengan terus menyalahkan waktu dan atau Tuhan.

Dikatakan dalam sebuah hadits "...... Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu manapun kamu suka"  (HR.  Ahmad) . Sebuah reward yang sangat menggiurkan bukan?

Jadi,  "Nikmat Tuhan mana lagi yang kalian dustakan? "  (QS: Ar-Rahman ayat: 13). Hayoo,  yang mana lagi coba? -nyengir-

Yuk, lebih bijak dalam menyikapi kenangan.  Juga semakin bijak dalam bersikap dan bertindak agar tidak ada lagi lembaran kenangan yang ketika dibuka membuat wajah berubah pucat.

#sabtulis #pekan26

Share:

Sabtu, 23 Juni 2018

Daster Mamah

"Ehh ternyata daster mamah masih ada", tetiba mamah sumringah sembari jalan ke ruang tamu menggunakan daster.

"Itu bukannya daster pas mamah hamil eneng yaa? Masih muat aja", balas saya cepat.

Percakapan singkat soal daster ini mengingatkan saya ke beberapa hari yang lalu. Saat itu mamah bilang kalau pengen banget memakai daster lagi.  Katanya cocok di cuaca sekarang yang agak panas,  bahkan saat malam tiba.

Berasa ada unsur kode di dalam perkataan dan perbuatan mamah.  Atau mungkin hati saya saja yang mulai over sensitive jadinya semua di anggap kode. Maklum saja,  setiap kali ngobrol bareng sama mamah selalu ada celetukan random dari mamah yang terkadang membuat saya tidak bisa membalasnya. Heehee..

Bicara soal daster, memang benar si kata mamah kalau daster itu cocok di cuaca panas. Daster biasanya dibuat dari bahan yang adem dan menyerap keringat,  wajar kalau banyak penggemarnya.  Saya juga pernah memakainya, dan itu ternyata bikin nagih.  Sepertinya saya memang perlu menambah koleksi baru,  Daster.

Share:

Sabtu, 16 Juni 2018

Untuk Hati yang Ingin Kembali Utuh

Allah pernah membuatku merasa benar bahwa dia adalah jodohku. Seperti angan-angan yang dibuatkan-Nya menjadi nyata. Setiap harap yang akhirnya aku sangkutpautkan agar terlihat cocok. Cocokologi. Mungkin istilah itu tepat untuk setiap pemaksaan yang aku benarkan tentang dia dan aku.

Aku sadar, meskipun sudah amat terlambat. Allah bukan lah ingin aku berpikir demikian tentang harap dan angan-angan. Pun jika benar semua Allah jadikan terwujud, itu bukanlah sebuah pemberian, nyatanya Allah hanya ingin aku menyadarinya bahwa semua hanyalah halusinasi yang aku anggap nyata dalam kehidupan.

Aku akui mungkin hati yang Allah takdirkan untuk hancur oleh perbuatanku sendiri ini masih saja tak kembali utuh seperti sedia kala. Tapi setidaknya aku memahami betapa kasih dan sayang-Nya tak pantas aku ragukan hanya karna hatiku pernah dibuat-Nya patah.

-Untuk hati yang ingin kembali utuh-


#sabtulis #pekan24
Share:

Sabtu, 09 Juni 2018

Si Tertutup

Aku si tertutup. Terbiasa mengalah pada apapun dan siapapun. Berusaha menyenangkan oranglain dengan tidak menolak ataupun memberikan pendapat buruk.

Aku si tertutup. Ekspresi yang aku rasakan sebenernya tidaklah pernah tercermin pada wajah. Itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar memahami dan mengenalku dengan sangat baik. Meskipun itu mungkin tidak banyak aku dapatkan dari mereka yang aku anggap teman baik.

Aku si tertutup. Memiliki kebiasaan memendam sedihku sendiri. Dalam pikirku, aku hanya boleh bersedih ketika aku sendiri. Dan kesedihan atau masalah yang aku hadapi bukanlah konsumsi publik, bukan pula konsumsi teman-teman dekat, karna mungkin mereka memiliki kisah sedih yang lebih dalam, atau kisah sedihku hanya akan menambah beban mereka. Heuh (senyum sinis), pikiranku memang sempit.

Aku si tertutup. Begitu dulu julukan yang aku sematkan pada diriku sendiri. Sejak dulu. Tapi mungkin berbeda dengan sekarang.

Aku si tertutup. Yang mencoba menjadi si terbuka. Entah ini berhasil atau tidak, tapi aku mencoba mendobrag kebiasaan yang sudah lama menempel dalam diriku.

Aku si tertutup. Yang mencoba menjadi si terbuka. Mencoba untuk jujur pada pikiran, perasaan, juga keinginanku sendiri untuk lebih menghargai diriku sendiri, pun sebenarnya juga untuk lebih menghargai oranglain. Meski mungkin tidak begitu penerimaan oranglain.

Hal ini bukanlah perkara yang mudah. Jangankan untuk memulainya, memikirkan perubahan ini saja membutuhkan waktu yang lama bagiku. Belum lagi konsekuensi yang akan ditimbulkan. Seorang teman pernah bilang padaku, bahwa salah satu resiko dari perubahan ini adalah merenggangnya pertemanan. Suatu hal yang amat berat bagiku yang notabene sangat senang berteman.

Setiap pilihan memiliki sebab dan akibat. Begitulah sebuah keputusan itu dibuat.


#sabtulis #pekan23
Share:

Sabtu, 02 Juni 2018

Di balik 17 Ramadhan

Ditengah dinginnya malam. Waktu sahur pun masih terlalu dini aku pikir. Sayup-sayup aku mendengar suara Mamah memanggil-manggil namaku. Digoyang-goyangkan pula badanku.

"Teh, teh, bangun. Bangun, teh. Liat nih. Kayanya Mamah mau lahiran. Tuh air ketubannya udah pecah."

Mata kantukku tetiba terbelalak. Badan lunglaiku tetiba sigap terbangun dari kasur. Benar saja, aku melihat air ketuban itu sudah berceceran di lantai. Aku panik. Entah, apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Mengelap air ketuban yang berceceran? Menyiapkan perlengkapan persalinan? Atau aku harus mandi dulu? *Loh heehee.

Mamah yang melihat kepanikanku duduk memberikan komando. Katanya aku harus ke rumah tetangga terdekat untuk meminta bantuan. Maklum saat itu Bapak sedang tidak di rumah. Jika aku ingat-ingat, saat itu Mamah justru jauh lebih tenang dibandingkan aku, padahal beliau kan akan melahirkan. Benar yaa, Ibu tuh emang zuppeerrr!

Setelah meminta bantuan tetangga, akhirnya kami mendapatkan mobil untuk membawa Mamah ke rumah sakit. Tahun 2012 (waktu dimana kisah ini terjadi) itu ada bantuan dari pemerintah untuk biaya persalinan, namanya JAMPERSAL. Kalau sekarang, semua yang berhubungan dengan kesehatan termasuk biaya persalinan sudah masuk ke dalam BPJS Kesehatan.

Obrol-obrol soal JAMPERSAL, karena hal inilah perjalanan persalinan Mamah jadi begitu dramatis. Bagaimana tidak, Mamah dengan kondisinya yang sedemikian rupa, hamil dengan umur 44 tahun, ketuban sudah pecah,
ditolak oleh 3 rumah sakit dengan berbagai macam alasan. Emosi? Tidak perlu ditanya. Saat itu sumpah serapah terhadap pemerintah sudah tak terbendung lagi, terutama pada 3 rumah sakit tersebut.

Aku emosi bukan karna lelahnya perjalanan. Bukan karna dinginnya semilir angin mobil kolbak yang kami taiki. Aku emosi karna ada 2 nyawa yang sedang mereka permainankan. Nyawa Mamah dan calon adik baruku.

Sepanjang perjalanan aku hanya berdo'a semoga mereka berdua baik-baik saja. Semoga Allah memberikan jalan keluar. Tidak menggunakan JAMPERSAL pun tidak apa-apa, asal mereka cepat mendapatkan tindakan. Akhirnya tetanggaku berinisitif membawa Mamah ke rumah sakit swasta. Alhamdulillah Mamah langsung mendapat tindakan medis. Tapi, rasa mulas yang terasa saat dini hari sudah tidak muncul lagi. Ini membuatku ketar-ketir. Pikiran buruk mulai menguasaiku. Bagaimana kondisi mereka sebenarnya.

Disisi lain, aku diminta menghadap dokter dan staf rumah sakit. Dengan rasa gugup aku datangi mereka. Mereka bilang ibuku baik-baik saja, anak dalam kandungannya pun baik-baik saja. Tapi, air ketuban yang merupakan pelumas saat melahirkan, sudah hampir habis. Hal itu menyebabkan Mamah tidak diperbolehkan melakukan persalinan normal. Juga karna umur yang sudah melebihi kepala empat. Mereka bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi, air ketuban hampir habis. Dan aku ceritakan semua kronologis yang terjadi.

Setelah itu, aku diminta untuk mengisi formulir persalinan caesar. Disana tercantum nominal yang cukup besar. Mencapai belasan juta. Entah  bagaimana cara kami membayarnya nanti.

Jam 8 tepat operasi dimulai. Aku menunggu dengan panik. Sesekali aku mendengar ada suara orang meronta kesakitan dan meminta pertolongan. Aku pikir itu suara Mamah. Tapi nyatanya bukan.

Aku lupa tepatnya pukul berapa, tapi tetiba ada suara suster memanggil nama keluargaku. Membuyarkan semua halusinasiku. Ternyata operasi sudah selesai. Suster memperlihatkan gadis mungil dengan wajah berwarna merah kepadaku. Aku panggil gadis mungil itu dengan sebutan "Eneng", lalu gadis mungil itu membalas dengan senyum manisnya. Seakan ia mengerti, bahwa yang menyapanya adalah keluarganya. Ya Allah, sungguh, tidak ada kata yang mampu menggambarkan ekspresi kegembiraanku saat itu. (Bersambung)

#sabtulis #pekan22

Share:

Sabtu, 26 Mei 2018

Menunggu Ide

Sudah hampir tengah malam. Tepatnya pukul 22:30 atau jam setengah sebelas malam. Hari ini adalah hari yang biasa aku pakai untuk menulis. Tapi sudah hampir diujung hari, aku tak kunjung juga menulis. Entah mataku sedang tidak bersahabat dengan keinginanku. Mata dengan otak terasa tidak singkron. Mataku lelah dan ingin terpejam, tapi otakku masih berusaha mengontrol dan memberi suggesti pada mata agar mau sedikit menunggu lagi.

Mata sudah aku kondisikan agar tetap terbuka, bukan terpejam. Aku hanya perlu menunggu ide yang akan dikeluarkan oleh otakku untuk kemudian aku tulis. Sesekali mataku terpejam, ini adalah gerakan reflek ketika aku mencoba untuk berpikir lebih keras. Hasilnya lumayan, beberapa kata mulai muncul diotakku. Tapi aku bukan hanya memerlukan beberapa kata, aku membutuhkan ide untuk merangkai kata-kata tersebut menjadi rangkaian kalimat yang baik.

Ide. Ide. Ide. Dimanakah dikau berada. Rangkaian kalimat tidak usai-usai aku rampungkan. Rangkaiannya selalu berantakan. Aku butuh ide, agar rangkaian kalimat ini tidak aku hapus lagi secara berulang kali. Aku juga butuh teman santap malam sepertinya, agar mataku tetap berada dikoridornya.

Aku sedang menunggu ide. Jika ide ini tidak kunjung datang, maka aku tidak bisa menulis.

------------------sunyi-------------------

------------------berpikir-------------------

------------------zzzzzzzzz-------------------

ternyata aku tertidur beberapa menit dalam masa penantian ide ini.

----------------beberapa menit kemudian----------------

Tanpa pikir panjang aku tulis apapun kata yang terlintas dalam otakku. Berantakan. Iyaa, itu pasti, tapi dalam menulis ada proses editing, aku bisa edit tulisanku kembali setelahnya.

Benar saja. Ternyata setelah aku coba untuk langsung menulis, tulisan itu bisa aku rampungkan. Kata demi kata mengalir begitu mudahnya tanpa perlu menunggu ide terlalu lama.

Dasar, aku baru ingat bahwa ada kalimat bijak seperti ini:
"Ide itu tidak ditunggu. Menulislah, maka ide itu akan mengalir"

Mungkin setelah ini aku harus lebih sering mengingat kalimat bijak ini ketimbang harus menunggu ide saat ingin menulis. Heehee

#sabtulis #pekan21

Share:

Sabtu, 19 Mei 2018

AAD3R (Ada apa dengan 3 Ramadhan?)

"Teh ayo taraweh. Buruan. Udah adzan nih, entar kita ngga dapet sholat di dalem teh. Buruan teteeehhh"

Kebawelan seorang adik disetiap malam di bulan Ramadhan. Hari ini adalah hari ketiga Ramadhan. Dalam Islam, waktu magrib adalah waktu dimana hari mulai berganti. Bearti malam ini masuk malam keempat di bulan Ramadhan.

Adik saya berumur 5 tahun. Dia sangat khawatir tidak mendapatkan shaf sholat di dalam musolah. Maklum musolah terdekat dengan rumah tidak terlalu besar. Jadi ketika jumlah jama'ah banyak, sebagian orang harus rela sholat diluar masjid. Lebih tepatnya di jalan.

Pada awal puasa atau malam pertama puasa jumlah jama'ah membludak, entah berapa kali lipat. Seperti yang saya jelaskan di atas. Saya yang datang ke musolah pada saat adzan isya saja harus merasakan sensasi menjadi jama'ah jalanan, heehee. Maksudnya jama'ah yang sholat di jalan raya depan musolah karena shaf di dalam musolah sudah penuh.

Memasuki malam kedua, saya masih menjadi jama'ah jalanan, hanya saja jumlah jama'ah sedikit berkurang. Masuk malam ketiga, malam keempat, jumlah shaf makin menyusut. Jangankan jama'ah jalanan, shaf di dalam musolah saja tidak penuh.

Coba bayangkan, ini baru malam keempat, seminggu saja belum sampai tapi kesusutan jama'ah begitu drastis. Ini kalau dihitung, bikin rumus penyusutannya bagaimana yaa? Ckckck.

Fenomena lain adalah, jejeran shaf itu lebih banyak di isi oleh kalangan sepuh, sebut saja begitu. Kaula muda masih bisa dihitung menggunakan jari. Bahkan jumlahnya masih kalah banyak dengan tubuh-tubuh mungil nan menggemaskan. Saya jadi bertanya-tanya, dimanakah badan-badan tegap itu berada? Husnudzon saja kalau mereka sholat dirumah.

Perihal sholat taraweh. Ini memang ibadah sunnah, tidak diwajibkan. Tapi menurut saya, apakah kita mau melewatkan moment dimana pintu-pintu rahmat-Nya terbuka begitu lebarnya? Apa kita hanya akan menghidupkan Ramadhan di siang hari saja? Rasanya amat sangat disayangkan jika kita berpikir demikian.

Katanya generasi milenial. Masa getolnya cuma urusan Dunia. Emang generasi milenial selamanya bakal tinggal di dunia saja yaa? Heehee.

"Jika engkau berposisi di pagi hari, jangan tunggu hingga petang hari. Bila engkau berposisi di petang hari, jangan tunggu hingga pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu saat sebelum tiba sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidup kamu saat sebelum tiba matimu." (HR. Bukhari)

Yuk, saatnya generasi milenial melek dunia melek akhirat. Gaul tidak hanya perihal dunia, dengan ilmu akhirat juga bisa tetap gaul.

Salam.
Peace, love, and syar'i.
Ciri orang Milenial sejati.
Gaul mah itu sudah pasti 😎

#sabtulis #pekan20

Share:

Kamis, 17 Mei 2018

Sakit!

Sakit!
Rasanya seperti tercabik-cabik.
Bicara, sakit.
Diam, malah bertambah sakit.

Sakit!
Iyaa, sakit!
Kepalaku sakit!

Share:

Sabtu, 12 Mei 2018

Tentang Buku, bukan Bernostalgia

"Teh, koq banyak banget buku beginian? Ngapain si beli buku banyak-banyak?", pertanyaan random si Mamah saat melihat aku dengan buku-buku yang berserakan.

Seperti biasanya, si Mamah selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan random nya yang terkadang sulit sekali untuk aku jabarkan dalam sebuah kata-kata sebagai jawabannya. Tapi pertanyaan random kali ini masih sanggup aku jawab dengan baik dan tentu dengan mudah pula.

"Iyaa, ini kemaren ada temen yang nitip beliin buku, bukan punya teteh semua koq Mah", jawabku santai sambil tetap memegang buku karya idola baruku uda Fadhli Lukman .

Mungkin Mamah kaget karna melihat anaknya akhir-akhir ini lebih sering membeli buku bacaan ketimbang membeli baju. Yaa wajar saja beliau bertanya demikian, karna biasanya aku memang lebih sering membeli baju atau kerudung sih. Begitu pikirku.

Kali ini aku ingin sedikit menjabarkan alasan mengapa aku kini gemar membaca, pun juga menulis. Mungkin hal ini akan sedikit membawa kenangan lama, tapi aku tidak ingin menganggapnya sebagai nostalgia yaa. So, tak perlu berpikir demikian.

Perkenalanku dengan buku sebenarnya bukan baru-baru ini sih, mungkin sudah lama. Hanya saja ada pergeseran genre bacaan, dari komik menjadi buku-buku motivasi dan berunsur agama. Dulu aku terbiasa meminjam buku dari teman. Namun sekarang aku menghindari meminjam, aku akan membeli apapun buku yang menurutku menarik agar bisa aku baca berulang-ulang.

Aku sebenarnya perlu berterimakasih pada seseorang. Seseorang yang meski secara tidak langsung sudah memperkenalkan aku pada buku-buku bergenre selain komik. Tapi, aku tidak akan menyebutkan namanya disini. Biarlah dia menjadi rahasia saja meski mungkin dia akan lebih sering aku sebut di tulisanku kali ini.

Dia adalah seorang teman, teman bercengkrama, teman berdiskusi banyak hal, teman yang aku anggap sebagai guru, teman yang pernah menempati sedikit ruang di dalam hati (aku sebenarnya tidak yakin, dia menempati sedikit atau menguasai hati, tapi biarkan aku tulis demikian), juga teman yang karenanya aku harus berusaha keras mengalihkan duniaku agar kembali dari dunia mimpi. Dia teman, yang karenanya aku bangkit lewat buku-buku sebagai pelarian juga penyembuh yang mujarab.

Pelarian? Iyaa. Memang perkenalanku dengan buku-buku adalah karna sebuah pelarian. Pelarian dari kenyataan yang membuatku sempat terpuruk. Kenyataan yang menyita begitu banyak energiku. Sakit hingga turun berat badan. Tidak fokus pada semua pekerjaan. Juga tak peduli pada apapun yang ada disekitarku. Pelarian. Iyaa. Buku adalah pelarian bagiku. Saat itu.

Aku tidak akan menjabarkannya lebih jauh mengenai bagaimana perjalanan pelarianku itu. Cukuplah hanya sedikit aku bahas, agar tidak lagi membuka kenangan lama yang sudah teramat jauh lembarannya tertutup.

Semua sudah berjalan satu tahun. Maksudku tentu perkenalanku dengan buku-buku. Saat ini buku bukanlah sebuah pelarian. Buatku kini buku adalah teman. Teman penyemangat hidup untuk terus memperbaiki diri. Pun tentu sebagai teman pengganti dirinya. Aku kini senang mengumpulkan buku, terkadang aku juga berbagi cerita kepada teman tentang buku yang baru selesai aku baca. Aku juga tak segan untuk meminjamkannya jika memang temanku tertarik.

Jika ditanya berapa banyak koleksi buku yang aku punya, aku hanya bisa menjawab, jumlahnya masih sangat sedikit. Karna sebenarnya agak sulit bagiku menentukan buku yang menarik. Aku sebenarnya kurang tertarik pada novel. Meskipun diantara koleksi buku yang aku punya ada beberapa berjenis novel. Buku tersebut aku beli secara random. Aku lebih tertarik pada buku berisi motivasi dan puisi. Entah apa karna aku itu terlalu melankolis, tapi kalimat yang terkesan manis dan puitis selalu saja sukses membuatku jatuh hati. Kini aku sedang mengumpulkan buku karya Sapardi Djoko Darmono dan Pramodya Ananta Toer. Baru satu yang aku punya dan itu pun masih menjadi PR bacaanku.

Dari buku-buku itulah minat bacaku mulai tumbuh. Tumbuh lebih besar dari yang terdahulu. Bukan hanya membaca, tapi aku juga mulai terinspirasi untuk menulis. Meskipun aku tau tulisanku terkadang terkesan tidak konsisten karna gaya tulisan yang berbeda-beda disetiap tulisannya, tapi setidaknya menulis bisa membuatku nyaman. Jika di dunia nyata suaraku jarang terdengar atau di dengar oranglain, tapi saat menulis aku seperti menemukan tempat baru dan teman baru yang dengan tulus mendengar (membaca) segala yang ingin aku sampaikan.

Mungkin setiap orang memiliki cara untuk membuat dirinya merasa nyaman. Pun untuk sekedar menyembuhkan diri dari segala luka, maksudku luka yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan kimia ataupun jamu tradisional. Bagiku, salah satu obat yang mujarab adalah dengan menulis. Menulis apapun yang ingin aku tulis.


*Untuk teman yang mungkin tidak pernah sadar memperkenalkanku pada buku dan kegemaran membaca, aku ucapkan terimakasih.

#sabtulis #pekan19
Share:

Sabtu, 05 Mei 2018

Aku, Bapak Disabilitas dan Ojol-nya

Terima kasihku pada paket dataku yang habis di waktu yang sebenarnya tidak tepat. Kamu memberiku pengalaman baru.

Hari sabtu. Hari dimana aku meluangkan waktu liburku untuk berada diluar rumah sejak siang hingga menjelang petang. Pagi ini seperti biasa aku terbangun dan mulai mengaktifkan handphone. Tentu bukan hanya handphone yang aku aktifkan, tetapi lengkap pula dengan paket datanya.

Aku mencoba membalas satu persatu pesan yang masuk ke what'sup ku, tetapi tidak ada satupun yang terkirim. Aku coba beberapa kali mematikan settingan paket dataku di handphone kemudian menyalakannya kembali. Aku pikir itu pasti karna hanphoneku yang error. Tapi ternyata sama saja, hasilnya pesanku masih tetap belum terkirim. Rasanya aku sudah putus asa. Sebab aku masih menunggu kabar dari beberapa grup penting di what'sup pagi ini.

"Pokoknya apapun yang terjadi hari ini aku harus tetap pergi keluar seperti biasanya."

Begitu gumamku dalam hati. Untungnya sisa pulsaku masih cukup untuk mengirim pesan singkat lewat sms. Aku coba menghubungi teman untuk mendapatkan kabar dimana dan jam berapa kami harus berkumpul.

"Jeng, nanti dimana yaa? Jaringan aku internetnya ngga bisa. Padahal kuota masih setengah gb lagi.", pesanku pada seorang teman.

"Di jalan sensor ya jam 1", jawab temanku.

"Ohh okeh", balasku lagi.

Setelah mendapatkan kabar itu, aku bersiap untuk berangkat ke tempat tujuan. Jam hampir menunjukkan pukul 1 siang. Aku mencoba kembali mematikan dan menyalakan lagi paket dataku, berharap jaringan internetku kembali normal. Tapi hasilnya nihil. Pesan-pesanku di what'sup masih saja tidak terkirim.

Dasar AKU. Terkadang memang sering sekali "Lemot". Kenapa tidak aku cek saja sisa kuota paket dataku. Lantas aku segera mengecek sisa kuotaku. Ternyata kuotaku habis. Terakhir aku cek masih tersisa setengah GB. Amat telat sekali untuk menyadari itu yaa. Aku bergegas pergi keluar rumah untuk mencari konter pulsa. Ternyata hampir semua konter dekat rumahku tutup. Tetanggaku yang biasa menjual pulsa secara "ecer" pun sedang kehabisan saldo.

Mengingat waktu yang nyaris melewati jam 1 siang, aku kembali menghubungi temanku dan memintanya untuk memesankan ojek online (selanjutnya akan ditulis ojol).

-Dan disinilah inti cerita ini dimulai-

"Udah dapet driver ya +62 822-xxxx-xxxx pak samar (maksudnya disamarkan)", pesan temanku.

"Okeh makasi yaa jeng", jawabku.

Aku kemudian menunggu si bapak ojol.

-10 menit pertama-

Aku putuskan untuk menghubungi si bapak. Ternyata yang menjawab CS. Katanya telepon yang anda hubungi sibuk. Baiklah. Aku kemudian mengirimkan pesan singkat lewat sms. Itu pun tidak mendapatkan balasan dari si bapak. Aku coba mengabari temanku.

"Drivernya di telepon sibuk jeng. Dia udah sampe mana yaa?"

"Aku sama juga ngga bales soalnya Bapaknya. Kamu coba sms dia juga ya"

"Udah jeng udah 2x blom di respon"

"Ternyata bapaknya tuna rungu, dia lagi cari alamat kamu"

DEG!!
Seketika itu aku kaget. Entah apa alasan pasti kekagetanku itu. Aku hanya merasa terpaku untuk beberapa detik setelah membaca kata "TUNA RUNGU". Tuna rungu? Driver ojol?.

Aku yang sedikit mengeluh karna menunggu si bapak sejak tadi, seketika terdiam. Keluhku terasa tidak berguna. Entah kenapa. Apa karna si bapak seorang penyandang disabilitas?

-5 menit berikutnya-

Si bapak ojol datang. Sepertinya ia merasa bersalah karna telah membuatku menunggu begitu lama. Dengan suara yang nyaris tidak terdengar jelas olehku, si bapak menjelaskan alasan keterlambatannya. Aku mencoba membaca gerak bibirnya, kemudian menjawabnya. Kira-kira seperti ini:

"Maaf mba tadi saya nyari alamat mba dulu."

"Iyaa pak ngga apa-apa. Ohh iyaa saya mau ke jalan sensor yaa Pak. Bapak tau jalannya?"

"Iyaa mba, tadi saya nyari alamat mba dulu. Ini kan yaa mba?" (Sambil menunjukkan layar Handphone nya yang bertuliskan alamat rumahku).

Bodohnya aku. Berharap bapak Samar memberi jawaban sesuai dengan pertanyaanku. Mulutku saja ditutupi masker, bagaimana si bapak bisa membaca gerak bibirku. Lagi-lagi "lemot" ku kambuh.

Sadar bahwa aku salah, aku langsung saja memberikan jempolku sebagai tanda bahwa aku mengerti yang ia sampaikan dan memaafkan keterlambatannya. Sesaat sebelum menaiki motornya, ia memberi aba-aba dengan tangannya. Sepertinya bapak Samar sedang memberi tau aku jika ingin belok ke kanan atau ke kiri maka arahkan saja dengan gerakan tangan seperti yang ia peragakan, begitupun juga dengan jalan lurus. Aku kembali memberikan jempolku sebagai tanda aku memahaminya.

Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam. Itu jelas saja. Bapak Samar tidak memungkinkan untuk mendengar suaraku kan? Begitupun aku, aku juga tak memungkinkan untuk membaca gerak bibirnya. Keterdiaman kami, aku menyukai suasana itu. Bagiku itu sangat nyaman. Karna aku memang tidak terbiasa banyak bicara dengan orang yang tidak aku kenal. Selama ini, ketika menggunakan ojol, aku harus terbiasa untuk menanggapi obrolan yang dilontarkan driver ojol. Terkadang aku tidak ingin menanggapinya, tapi rasanya itu tidak sopan. Tapi dengan bapak Samar, perjalanan ojol kali ini terasa berbeda saja bagiku.

Sepanjang perjalanan aku mencoba mengarahkan si bapak dengan gerakan tanganku.

"Belok kanan Pak", kataku sambil menunjukkan tangan berbelok ke arah kanan.

Mulutku reflek mengucapkan kata itu. Padahal saat itu dengan gerakan tangan saja sudah cukup. Tapi mungkin mulutku belum terbiasa dengan itu. Si bapak mengacungkan jempolnya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Diperjalanan. Di keterdiaman itu aku juga berpikir bagaimana caranya untuk mengatakan kata "Stop" atau "Disini aja Pak". Karna tidak mungkin bagiku untuk menepuk pundak si bapak. Ada batasan yang tetap harus aku jaga disitu. Terkadang gerakan reflek tanganku saja harus coba aku tahan dengan reflek otakku. Untung tanganku sigap merespon. Jika tidak, mungkin dengan cara si bapak berkendara, aku bisa setiap saat merangkul pinggang si bapak. Maklum, aku sedikit trauma dengan motor. Dua kali mengalami kecelakaan saat mengendarai motor membuatku takut. Butuh waktu lama untukku mengembalikan keberanianku untuk duduk di jok belakang motor, pun terlebih dengan membawanya sendiri. Aku masih belum berani.

Mendekati tempat tujuan. Entah ide darimana. Untuk mengatakan "Stop", tiba-tiba aku acungkan saja jempolku di samping kanan si bapak agar si bapak dapat melihat jempolku. Dan hebatnya si bapak, ia paham apa maksud acungan jempolku. Lalu si bapak menghentikan motornya. Ini keren menurutku.

Selama perjalanan aku merasakan kesalutan yang amat sangat. Bukan hanya pada si bapak yang tak berdiam atau berputus asa pada keterbatasannya, aku pun salut pada perusahaan ojol yang bersedia memberi kesempatan pada mereka penyandang disabilitas atau mereka "Kaum Pinggiran" yang mau berusaha mencari nafkah halal, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya.

Dari si bapak aku belajar banyak hal. Bahwa komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tidak melulu dengan lisan, isyarat pun bisa menjadi jembatan bagi dua orang yang ingin mengerti. Atau jika boleh membahas satu buah iklan, cukup dengan permen saja orang juga dapat berkenalan kan?

Tentang syukur. Si bapak juga mengajarkan aku tentang ini. Bersyukur pada Tuhan bahwa aku diberikan fisik yang sempurna. Bersyukur bahwa aku memiliki pekerjaan yang jika boleh aku merasa pekerjaanku lebih "Enak" dibandingkan si bapak. Tapi aku pun malu dengan si bapak. Malu karna terkadang aku masih sering mengeluh mengenai fisik sempurnaku ini. Tentang pekerjaanku yang mungkin jauh lebih sering aku keluhkan.

Kuasa Tuhan memang tak pernah ada yang bisa menerkanya. Pun tak pernah ada yang mampu menandinginya. Terkadang sentilan-sentilannya sukses membuat hamba-hambaNya takjub. Mulai dari sentilannya yang besar ataupun sentilan kecilNya. Tetap saja selalu mengena dihati.

#sabtulis #pekan18

Share:

Sabtu, 28 April 2018

Kamu, yang Tak Bisa Ku Sebut Namanya

Teruntuk kamu yang tak bisa ku sebut namanya. Sejak awal berteman, kita selalu berada dalam lingkaran yang sama, entah kamu menyadarinya atau tidak, tapi memori saat pertama kita bertemu, aku masih sangat mengingatnya. Saat-saat dimana kita duduk bersama, saling bertegur sapa menanyakan kabar satu sama lain, bercanda dan bercengkrama. Tak seperti sekarang yang hanya terwakili dengan dunia maya. Moment itu, aku rindu padamu.

Teruntuk kamu yang tak bisa ku sebut namanya. Orang pintar yang tak pernah berlagak sok pintar. Orang yang banyak tau tapi tak pernah sok tau. Menasehati tanpa menggurui. Menjawab tanpa menyudutkan lawan bicara. Kamu, aku rindu padamu.

Teruntuk kamu yang masih tak bisa ku sebut namanya. Orang dengan 1001 wajah. Orang yang selalu menampakkan wajah baik-baik saja meskipun aku tau disaat tertentu kondisimu justru sebaliknya. Orang terpandai dalam menyembunyikan segalanya. Tak pernah bercerita tanpa ditanya. Kamu, aku masih saja rindu padamu.

Teruntuk kamu yang lagi-lagi tak bisa ku sebut namanya. Si introvert yang terkadang membuatku bingung akan sikapnya. Si introvert yang menangis saja perlu berpikir terlebih dulu 'Haruskah aku menangis?'. Dasar introvert ulung.
Aku mungkin tak begitu mengenali dunia introvert secara akut, layaknya kamu. Aku pikir dunia introvert akan membatasi pengidapnya, tapi kamu, dunia introvertmu, sama sekali tak menghalangimu untuk bergaul, beradaptasi, menggapai mimpi, hingga kini kamu dapat meraih kesuksesan. Jika menurutmu itu belum cukup untuk dikatakan sukses, biarkanlah dari kacamataku kamu terlihat demikian.

Lagi dan lagi, Teruntuk kamu yang tak bisa ku sebut namanya. Si konyol yang jarang membanyol. Sepintas orang tak akan menyadarinya jika kamu termasuk orang dengan tingkat kekonyolan yang lumayan tinggi, dengan kadar kegombalan yang juga cukup mumpuni. Kamu lebih terlihat dingin dan misterius. Padahal jika mereka mau mencoba mengenalmu lebih dalam, tak hanya kekonyolan dan rayuan gombal, mereka juga dapat menemukan kehangatan dan keteduhan dari tatapan mata dan gaya bicaramu. Sungguh, aku benar-benar rindu padamu.

Untuk kesekian kalinya, Teruntuk kamu yang tak bisa ku sebut namanya. Deskripsi apalagi yang harus aku tuangkan disini, untuk mewakili dirimu yang terlalu menginspirasi. Meski dingin, misterius, wajah flat, konyol, gombal, aku selalu senang berada dekat denganmu. Entah cerita apalagi yang harus aku narasikan disini, untuk menggambarkan betapa hebat si introvert ku ini. Haruskah aku luapkan rinduku lebih banyak lagi disini? Ku rasa tidak, biar temu yang akan menyembuhkannya.

Ini. Lagi. Untukmu lagi. Teruntuk kamu yang tak bisa ku sebut namanya. Bisakah kamu menjadikan aku sebagai pendengar setiamu, bukan hanya menjadi pembaca setia tulisan-tulisanmu? Kamu, bisakah aku menjadi salah satu yang kamu percaya untuk menjadi salah satu orang yang mampu mengusap air matamu saat kamu benar-benar ingin menangis? Bisakah sedikit kamu bagi bebanmu itu padaku? Kamu, aku tau kamu kuat, kamu selalu berpikir bisa mengatasi semuanya sendiri, kamu selalu berpendapat bahwa masalah akan selesai meskipun tak kamu bagi dengan siapapun, tapi kamu pun paham bahwa manusia tak dapat terus hidup sendiri, begitupun dirimu.

Terakhir, Teruntuk kamu yang tak bisa ku sebut namanya. Teruslah menjadi si introvert yang ku kenal. Entah apa menurut orang lain, tapi bagiku kamu adalah inspirasi. Daaaannnnn, aku selalu rindu padamu 😊.


#sabtulis #pekan17


Share:

Senin, 23 April 2018

Dua Tiga Kosong Empat

Dua tiga kosong empat. Tanggal dimana aku dilahirkan. Ini adalah Dua tiga kosong empat yang ke dua puluh enam kalinya aku rasakan. Rasanya masih sama saja. Masih jadi aku yang manja dan kekanak-kanakan. Terkadang aku merasa malu, di usia seperempat abad lebih satu tahun ini aku masih saja belum dewasa. Malu pada mereka diluar sana yang notabene lebih muda dariku tapi sikap dan sifatnya jauh lebih dewasa daripada aku. Aku berpikir, kapan aku tumbuh menjadi dewasa ? Yaa setidaknya bisa mengimbangi usiaku yang tak lagi muda begitu.

Dua tiga kosong empat. Tahun ini aku lalui masih dengan anggota keluarga yang sama. Bapak, Mamah, 2 orang adik, dan juga keluarga besar IT & Pelaporan. Yang spesial tahun ini adalah aku mendapatkan kado dari salah seorang diantara mereka. Aku belum tau apa isinya. Rasanya ingin aku biarkan saja terbungkus. Maklum, aku jarang sekali mendapatkan kado dihari ulang tahun, terlebih dihari biasa.

Dua tiga kosong empat. Setiap tahunnya selalu berjalan monoton. Masih saja 1 targetanku belum terlaksana. Yaa aku tau Tuhan tidak akan melambatkan sesuatu kecuali itu baik bagi hamba-Nya, juga tidak menyegerakan sesuatu kecuali itu baik bagi hamba-Nya. Tapi aku, dengan semua harapku, masih saja berpikir egois. Meminta dan terus meminta, tanpa sedikitpun berusaha menjalankan kalimat Tuhanku yang sebenarnya sudah aku pahami. Egoisnya aku, masih saja kekanak-kanakan.

Dua tiga kosong empat. Aku pikir tanggal ini tak punya kesan bagi oranglain. Aku pikir ini hanya tanggal dimana aku dilahirkan. Tapi tahun ini memberikan sejarah lain padaku, ternyata ditanggal yang sama masyarakat dunia sedang memperingati Hari Buku sedunia. Kebetulan yang sangat kebetulan bagiku, karna aku juga menyukai buku.

"Pantas saja aku menyukai buku, ternyata hari ini hari buku sedunia toh", gumamku dalam hati.

Dua tiga kosong empat. Di usia dua puluh enam tahun. Satu hal yang aku harapkan dari Tuhan ketika aku bangun di dini harinya, satu hal yang aku lantunkan dalam do'a di iringi derasnya hujan, Tuhan mau membukakan pintu maaf-Nya untukku, Tuhan mau memberikanku kekuatan dalam menghadapi semua yang telah Ia tetapkan, Tuhan mau membantuku kembali pada batasanku, Tuhan mau membimbingku menuju jalan lurusnya, jalan dimana aku bisa bertemu dengan-Nya kelak di indah surga-Nya.

Dua tiga kosong empat seribu sembilan ratus sembilan puluh dua. Desa Sukamulya. Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Tulisan ini di tulis pada tanggal dua tiga kosong empat dua ribu delapan belas. Di dalam kereta tujuan Jakarta Kota - Bogor.

Share:

Minggu, 22 April 2018

Maaf, Aku Berhenti Berdo'a

Kembali ke masa lalu. Aku harap ini terakhir kalinya aku kembali pada masa itu. Masa dimana aku merasa sangat bahagia, pun juga masa dimana aku merasa sangat terluka.

Aku menulis ini hanya sekedar untuk membuat hatiku sendiri lega. Aku menulis untuk menyadarkan diriku sendiri bahwa semua sudah berakhir. Benar-benar berakhir. Sudah seharusnya aku pergi dari masa-masa itu, dari luka-luka itu. Belajar memaafkan diriku sendiri yang memutuskan untuk menerobos batasanku sendiri. Menerobos tembok besar nan kokoh hanya untuk memenuhi egoisme diri.

Aku ingin tulisan ini membuatku berhenti. Berhenti dari luka-luka itu. Penyesalan dan kekecewaan. Aku ingin agar tulisan ini menyudahi semuanya. Termasuk semua kisah tentangnya yang sudah jauh pergi entah dimana. Tentangnya yang dulu namanya selalu aku rapal dalam do'a.

Maaf, aku berhenti berdo'a.
Maaf, aku tak lagi sanggup berdo'a.

Tak sanggup lagi menyebutnya dalam setiap do'a yang aku panjatkan. Aku putuskan tak lagi ada dia dalam segalanya. Dalam segala hal. Pun tak lagi menempatkan kebahagiannya sebagai prioritas dalam do'a-do'a ku.

Suatu hal yang aku pun sebenarnya tak sanggup untuk memulainya. Tak sanggup untuk melakukannya. Namun aku harus memaksakan itu. Setiap kali menengadahkan tangan, aku hanya bisa terdiam, menangis, lidahku kelu, tak ada satupun kata yang dapat aku ucap sebagai do'a, tak ada satu pun kata yang bisa aku sebut sebagai do'a. Pun demikian dengan otakku, sejenak rasanya ia berhenti berpikir, ia kosong, tak ada satupun hal yang terlintas selain ingin menyebutnya lagi dalam do'a. Sebegitu dalam namanya terpatri dalam alam bawah sadarku. Hingga tanganku yang tengah menengadah pun tak di izinkannya untuk terisi hal lain.

Aku berhenti disini.
Aku putuskan hanya sampai segini.

Alam bawah sadarku tak mudah di ajak kompromi. Aku jejali ia dengan begitu banyak sugesti, tapi ia seperti mempunyai ego sendiri. Tapi tak kan aku biarkan ia terpaku begitu lama, tak akan lagi aku biarkan tanganku yang menengadah kosong tanpa do'a yang terucap, dan tak akan lagi aku membiarkan tanganku hanya  menampung tetesan demi tetesan air yang mengalir dari mata membasahi pipi.

Tuhan selalu punya cara untuk menyadarkan hamba-Nya. Selalu punya cara untuk menolong hamba-Nya.

Aku tak berhitung. Entah sejak kapan aku kembali bisa berdo'a. Sudah berapa malam do'a mulai kembali mengisi tanganku. Membasahi bibirku. Do'a yang terucap kali ini mengenai mereka yang aku sayangi dan tentu menyayangiku. Mengenai mereka yang selama ini terabaikan karna adanya sosok asing yang mendiami lubuk hati juga alam bawah sadarku.

Tentang mereka yang terabaikan, yang ternyata adalah sosok paling berharga, sosok paling tulus dalam hal menyayangi dan mencintai.

Maaf, aku kini berhenti berdo'a.
Benar-benar berhenti berdo'a.
Tentu do'a untuknya yang aku maksud.

Layaknya do'a yang baru, aku harap ini adalah awal hidupku yang baru. Mulai kembali pada batasanku yang dulu, meskipun aku tau temboknya tak lagi sekokoh dulu.
Share:

Sabtu, 21 April 2018

Magical Phrases

"Cara ampuh untuk menyembuhkan luka adalah dengan tetap menghadapinya, bukan menghindar ataupun melarikan diri darinya. Memaafkan segalanya, luka itu, si pembuat luka, juga diri sendiri yang terasa bodoh karna terus berada dalam kenikmatan luka itu sendiri", begitu katanya.

Magical phrases. Begitu Saya menyebutnya. Sebuah kalimat magis yang nyatanya belum mampu menyihir saya, ataupun membuat saya merasakan keajaibannya. Entah apakah saya bisa "Sembuh" dari semua luka yang saya pendam sendiri ini.

Saya bertanya pada seorang teman, teman yang tidak jarang saya ganggu dengan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh. Termasuk perihal Magical phrases ini.

"Apa ini semuanya bener ning ?", tanya saya padanya.

"May be. Menurut kamu sendiri gimana ?", jawabnya singkat.

Mendengar jawabannya membuat saya sedikit berpikir, rasanya saya sependapat dengan Magical phrases itu, tapi sayangnya saya merasa belum menemukan bukti nyata ataupun formula semacam itu sebagai obat penyembuh luka.

"Meski berat emang. Tapi sekali kamu sembuh, kamu jadi orang yang lebih kuat dari sebelumnya", sambungnya lagi.

Pernyataannya semakin membuat saya berpikir lebih dalam. Akankah benar terjadi demikian jika saya melakukan semua itu ?

Seakan mengerti yang saya pikirkan, dia menjawab, "Hehe, tergantung juga seberapa kuat kamu mau sembuh."

Jedeeerrrr !!!
Kalimat itu. Singkat. Namun rasanya menusuk ke jantung. Sejenak saya dibuatnya tak bisa berkata-kata.

"Ohh gtuh, bearti susahnya itu yaa karna aku belum niat banget sembuh yaa ? haahaa", jawab saya sembari sedikit tertawa.

"Karna ada juga mereka yang terluka tapi justru betah berlama-lama berkubang dengan luka itu, "Menikmati kepedihan"", tutupnya yang sarat makna.

Kalimat penutup yang sukses membuat pikiran saya semakin terbuka lebar selebar-lebarnya. Dan bukan hanya pikiran, tapi hati saya mulai meresapi kalimat demi kalimat yang disampaikannya.

Pernyataan teman saya ini mulai terdengar realistis. Mungkin benar, saya lah yang selama ini terlalu menikmati kepedihan itu sendiri. Hanyut dalam ke-baper-an yang saya cipta sendiri. Terluka dengan mengenang luka-luka itu sendiri. Dan terlebih, terus menerus menyalahkan diri sendiri. Tak bisa berdamai bahkan dengan diri saya sendiri.

Magical phrases. Entah itu benar manjur atau tidak, setidaknya saya perlu mencobanya terlebih dulu, mempraktekan Magical phrases tersebut dalam hidup saya. Saya yakin bahwa Magical phrases itu suatu saat akan menampakkan hasilnya. Saya hanya perlu mencoba dengan menaruh keyakinan secara penuh bahwa itu akan menjadi nyata.

Suatu saat saya akan benar-benar bisa menjadi tegar dan tangguh menghadapi semuanya. Dan ketika saat itu tiba, saya dihadapkan kembali pada apa-apa yang telah terjadi, saya dapat berdiri tegap, melihatnya dengan tatapan tegas, dan mengembangkan senyuman lebar seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.


#sabtulis #pekan16

Share:

Sabtu, 14 April 2018

Diam !!

Diam. Diam lah. Diam saja. Cukup dengan diam kita dapat memberitahukan pada Dunia apa yang kita rasa. Terkadang tidak semua hal perlu kita ungkapkan, karna mata sudah cukup mewakilinya. Mata tak pernah dapat menyembunyikan apa yang kita rasa.

Pepatah mengatakan, "Silence says a lot more than you think". Dan aku percaya itu.

#sabtulis #pekan15

Share:

Rabu, 11 April 2018

Entah

Entah apa maksudnya Allah. Setiap kali kesempatan itu datang, rasanya bukan hadir di waktu yang tepat. Aku tau bahwa tiada rencana sebaik rencana-Nya. Tapi kenapa hal ini terulang dua kali. Dan rasanya masih tetap sama, yaitu hadir di waktu yang tidak tepat.

Ingin mengelak namun sulit. Ingin menghindar tapi tak sanggup. Memori-memori yang jauh sudah tertutup, seketika lembaran-lembarannya kembali terbuka. Apa yang harus aku perbuat ? Entahlah aku pun tak tau harus apa.

Share:

Sabtu, 07 April 2018

Akad dan Orangtua

Orangtua. Dua manusia yang dikirimkan Allah sebagai malaikat dalam hidup saya. Dua manusia yang diberikan Allah sebagai penyembuh luka atas segala kekecewaan yang diciptakan karna kenaifan diri terhadap dunia.

Hari ini. Di peristiwa sakral itu. Peristiwa saat sebuah janji yang diucapkan langsung dihadapan Allah. Peristiwa saat sebuah kesaksian disaksikan oleh malaikat. Peristiwa yang membuat seluruh badan bergidik. Merinding. Sebuah peristiwa yang diakhiri dengan sujud simpuh di kaki kedua manusia mulia dalam kehidupan setiap orang.

Peristiwa sakral itu. Akad. Akad seorang teman. Kalimat demi kalimat yang terucap saat simpuh mereka. Permohonan maaf. Permintaan izin. Tangis bahagia mereka. Semua itu sukses membuat saya tak mampu menahan air mata. Terbayang wajah-wajah dua manusia termulia dalam hidup saya. Wajah Bapak dan Mamah.

April. Bulan april. Bulan dimana saya dilahirkan. Usia saya akan menginjak 26 tahun. Satu do'a yang amat sangat saya panjatkan lebih keras lagi, lebih sering lagi, semoga Allah beri saya kesempatan untuk wujudkan harapan mereka. Semoga tak lama lagi Bapak dan Mamah bisa menyaksikan anak gadisnya berada dalam peristiwa sakral itu. Peristiwa saat Bapak mengucapkan Ijab. Peristiwa saat Mamah melepas anak gadisnya dipinang seorang lelaki bertanggungjawab. Peristiwa saat Bapak dan Mamah memberikan wejangan pertamanya untuk satu lagi fase baru dalam hidup saya.

Bapak, Mamah. Semoga Allah panjangkan umur mereka. Allah limpahkan segala Kasih sayang-Nya pada dua manusia terpenting dalam hidup saya ini. Semoga Allah himpunkan kami kelak dalam Surga-Nya. Aamiin.

#sabtulis #pekan14

Share:

Sabtu, 31 Maret 2018

Bab Kenangan

Apa kamu masih mengingat dia ? Atau mungkin, sekarang kamu sudah melupakannya ?

Aku tertunduk, dan sejenak menghela napas. Kemudian mengangkat kembali kepala seraya berkata, "Semua yang sudah terjadi di masa lalu akan menjadi kenangan. Aku mungkin tak bisa menggantinya, atau bahkan menghapusnya. Tapi, aku bisa menciptakan kenangan-kenangan baru bukan ? Yang jauh lebih indah. Hingga kenangan lama terasa begitu jauh untuk dibuka kembali lembaran-lembarannya"

Tak kan pernah ada habisnya berbicara mengenai kenangan. Kenangan yang berisi pengalaman baik ataupun buruk, semua sudah terjadi. Kita tak punya daya untuk kembali pada masa itu dan memperbaiki semuanya, ataupun mengulangnya kembali.

Sekarang, sudah seharusnya kita memandang jauh ke depan. Mengukir impian yang mungkin sejak dulu belum bisa kita raih. Merancangnya kembali agar impian itu dapat terwujud. Dan kita dapat menikmati hasilnya.

Namun, ada kalanya sesekali kita juga perlu berbalik untuk melihat kebelakang. Bukan untuk menyesali semua yang telah terjadi di masa lalu, tapi untuk tersenyum atas semua pelajaran yang telah diberikan, hingga kini kita bisa mensyukurinya.


Melihat derasnya ombak dan mendengarkan riuh suaranya, entah kenapa begitu menenangkan. Rasanya semua kenangan ikut hanyut bersamanya. Angin yang berhembus, seakan memberi kesejukan pada jiwa yang baru.

Bab kenangan. Begitu aku menamainya. Tentang dia dan kenangan bersamanya. Ukiran di bibir pantai sudah terhapus oleh air laut. Pun di dalam sini (hati) dan juga disini (pikiran).

#sabtulis #pekan13

Share:

Sabtu, 24 Maret 2018

Sendiri

"Kamu ngga punya temen yaa ? Kerjaannya jalan-jalan sendirian mulu", pertanyaan yang saya tujukan pada salah satu teman yang hobinya adalah berpetualang sendirian.

Dia. Hampir setiap hari sepulang mengajar selalu pergi jalan-jalan. Entah untuk makan, nonton, atau duduk manis di dalam kereta menikmati mondar-mandirnya rute kereta. Dia bahkan pernah berada dalam kereta dari jam 5 sore sampai jam 8 malam untuk melakukan hal itu. Hobi atau iseng, itu hampir sulit saya bedakan.

Saya tak habis pikir, apa yang membuatnya nyaman melakukan itu semua sendirian. Padahal dia bukannya orang yang introvert ataupun anti sosial. Dia tipikal yang rame dan senang bercerita. Seharusnya dia tidak menyukai kesendirian. Begitu menurut saya. Tapi ternyata pendapat saya itu salah. Katanya jalan-jalan sendiri itu enak dan bikin nagih. Dia menyuruh saya mencobanya.

"Cobaan deh ka, sesekali nonton sendiri. Naik kereta bolak-balik. Seru tau liatin ekspresi orang satu-satu di dalam kereta. Suka bikin ketawa sendiri, kesel sendiri, haahaa."

Begitu katanya. Dengan sangat antusias dia menceritakan pengalamannya. Entah ini sugesti atau apa, saya jadi penasaran ingin mencoba. Saya pikir mungkin apa yang dia katakan itu benar, saya perlu mencobanya sesekali. Dan beberapa hari lalu saya tidak masuk kerja untuk melakukan itu. Kebetulan kontrak kerja Saya juga sudah habis, jadi saya punya alasan untuk tidak masuk kantor heehee.

Berangkat pagi-pagi dengan pakaian kerja seperti biasanya. Saya hanya pamit kepada orangtua untuk keluar rumah. Sengaja saya tidak bilang kalau saya bolos. Termasuk soal kenapa saya bolos. Khawatir mereka menjadi khawatir (ngerti kan yaa maksudnya ). Setidaknya saya tidak berkata bohong kepada mereka. Saya memang benar-benar keluar rumah, hanya saja dengan tujuan yang berbeda.

Hari itu tujuan pertama saya adalah toko buku. Iyaa, saya sangat menyukai buku, maka dari itu saya langsung mengunjungi toko buku. Hampir 2 buku habis saya lahap. Lumayan lama saya disana, sampai tidak terasa sudah masuk jam makan siang. Selesai dari toko buku, saya menuju tempat makan. Sempat linglung si ingin makan apa dan dimana. Maklum saja karna biasanya selalu ada teman diskusi untuk memutuskan apapun termasuk soal makanan.

Setelah makan siang, saya memutuskan untuk nonton bioskop. Sendirian. Saya lupa kapan terakhir saya nonton di bioskop. Sampai-sampai saya kikuk banget saat memesan tiket.


Petugas : "Silahkan mba, ada yang bisa saya bantu ? Mba mau nonton film apa ?", Sapa si petugas bioskop.

Saya : "Film yang bagus dan banyak peminatnya minggu ini apa mas ?", Jawaban kikuk Saya.

Petugas :"Minggu ini ? Ada tomb raider, black panther, yang lainnya juga rame sih mba. Mba nya mau nonton film apa ?"

Saya : "Black panther aja deh mas. Itu banyak kan yaa penontonnya ?"

Petugas : "Iyaa mba Banyak koq. Mba nya mau duduk dimana ?", Sambil memperlihatkan monitor berisikan deretan bangku-bangku yang bisa dipilih.

Saya : pencet-pencet monitor. "Koq ngga berubah warna sih nih bangku yang gue pilih", (bicara dalam hati).
"Mas, ini saya pencet koq ngga berubah Yaa ? Saya pilih duduk di C9. Ini milihnya gimana dah mas ? Saya pencet atau gimana ?", Tanya saya setelah lelah memencet monitor.

Petugas : "Disebutkan saja mba mau duduk dimana, nanti saya proses."

Saya : "Ohh"

Dalam hati malu banget ya Allah. Berasa norak. Haahaa. Sekali lagi saya harus bilang, mohon dimaklumi karna saya sudah lama sekali tidak nonton bioskop. Dulu kalau nonton bioskop pasti selalu dipesankan teman, heehee.

Saya baru sadar, ternyata begini toh jalan sendirian tuh. Seru. Tapi yaa lucu juga. Saya jadi berpikir, terkadang kita memang perlu sendiri. Memberikan waktu pada diri sendiri untuk menikmati kesendirian. Memberi jeda pada rutinitas yang ada. Melakukan hal yang tak biasa untuk sesekali waktu.

Ternyata sendiri itu tak melulu sepi. Sendiri justru menjadi ramai. Sendiri justru membuat kita berani. Sendiri menyadarkan kita akan sisi lain dari diri kita sendiri, yang tak pernah kita sangka kita memilikinya, dan yang tak pernah kita duga kita dapat melakukannya.


#sabtulis #pekan12

Share:

Sabtu, 17 Maret 2018

Persiapan Pernikahan

Menikah. Salah satu sunnah Rasulullah yang katanya dalam hadits, "Dari Ibnu Mas'ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, Menikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat"". (HR. Jamaah).

Seperti anjuran yang telah dikatakan oleh Rasulullah, jika sudah mampu menikah, maka Menikahlah. Kalimat simple, namun prakteknya tidaklah simple. Itu menurut saya si. Ternyata ada hal-hal yang membuatnya tidak simple.

Mempersiapkan pernikahan nyatanya tak semudah yang dibayangkan, tak seinstan praktek-praktek yang di tayangkan sinetron di televisi. Saya pikir jika sudah menemukan pasangan yang tepat, maka semuanya akan berjalan mulus. Mulai dari persiapan lamaran, memilih undangan, dan pernak-pernik pernikahan lainnya.

Segala bentuk persiapan dalam pernikahan, terlibat secara langsung ataupun tidak, kedua mempelai tetap saja memikirkan akan seperti apa nanti acara pernikahan mereka berlangsung. Bingung ? Tentu saja iyaa. Yang akan sibuk dan bingung ternyata bukan hanya orangtua, tetapi kedua mempelai juga loh.

Belum sampai pada pernikahan, sang mempelai akan dihadapkan pada persiapan konsep apa yang akan diterapkan di hari nan spesial nanti. Juga menentukan siapa saja orang-orang yang akan bertugas sebagai penanggungjawab dalam acara nanti. Inginnya tetangga dan teman terdekat ikut serta menjadi panitia. Bapak ini menjadi MC saat akad. Ibu ini menjadi penjaga prasmanan, si anu jadi penerima tamu, si ono jadi kordinator lapangan, dan masih banyak si si si yang lain. Ini saja sudah membuat mempelai bingung.

Perbedaan suku dan budaya juga menjadi tantangan tersendiri. Di satu pihak ingin adat istiadat budayanya dilaksanakan, sedangkan di pihak lain harus berusaha beradaptasi dengan budaya yang masih asing tersebut. Jika komunikasi berjalan kurang baik, bisa jadi akan menimbulkan persepsi yang salah di kedua belah pihak. Dan tentu itu akan menjadi beban bagi si calon pengantin.

Ini memang bukan pengalaman saya sendiri sih. Tapi hari ini saya banyak belajar dari teman saya mengenai persiapan yang harus dilakukan sebelum pernikahan. Sebelumnya saya pikir itu semua akan sangat mudah dijalani. Yang sulit bagi saya tentang pernikahan adalah soal menentukan pasangan, heehee. Tapi ternyata pernikahan tidaklah sesimple itu yaa. Belum lagi jika kita belum mempersiapkan tabungan dari jauh-jauh hari. Usut punya usut, biaya pernikahan sekarang itu tidak murah loh.

Satu pesan yang dia berikan, "Nikah itu murah, apalagi nikahnya weekdays di KUA, itu gratis, haahaa. Yang mahal itu adalah budaya. Seserahan lah, souvenir lah, undangan lah, makanya nabung, jangan dadakan, haahaa"

Lagi-lagi yang disinggung adalah budaya. Kalau jaman Rasulullah mah cukup potong kambing lalu undang tetangga untuk makan dirumah, itu sebagai bentuk menyebarluaskan kabar bahwa telah terjadi pernikahan antara si fulan dengan si fulanah. Bedanya jaman now, karna Indonesia kaya akan budaya, resepsi pernikahan bukan hanya berfungsi sebagai penyebar kabar, tetapi juga sebagai bentuk melestarikan budaya. Keren juga yaa heehee..

Menilik kembali pesan di atas tadi, "Jangan dadakan", nah ini nih yang sulit di antisipasi. Kan jodoh tidak ada yang tau ketemu dimana atau datangnya kapan heehee. Tapi pesan "Nabung" nya boleh lah yaa diterapkan dari sekarang (kalau belum nabung).

#sabtulis #pekan11

Share:

Sabtu, 10 Maret 2018

Tak Perlu Bertanya

Aku tak bercerita bukan berarti aku tak percaya. Aku hanya lelah, harus mengingat dan mengulang apa yang aku alami dan apa yang aku rasakan. Sungguh, bagiku itu melelahkan.

Tak perlu marah. Jangan membuatnya semakin parah. Aku takkan berubah hanya karna ada yang merasa marah. Cukup diam, dan biarkanlah saja. Biar lelah itu reda dengan sendirinya.

Bagiku, tak melulu setiap perbuatan memerlukan penjelasan. Terkadang apa yang aku lakukan bahkan tidak memiliki alasan. Maka jika ada yang bertanya, biarkanlah aku memberikan jawaban, 'Aku tidak mempunyai jawaban'.

Aku hanya ingin sendiri. Menikmati hari. Menuruti semua inginnya hati. Sudah terlalu lama ia terkekang. Tanpa diberi sedikitpun kesempatan. Ekpresinya tertahan oleh tatakrama. Hingga akhirnya semua membuatnya terluka.

#sabtulis #pekan10

Share:

Sabtu, 03 Maret 2018

Don't be Naive

"Klo jadi orang jangan terlalu naif"

Satu nasehat yang sering kali orang ucapkan kepada saya. Sebuah nasehat yang bukan hanya di ucapkan oleh satu orang, tapi sudah beberapa orang. Entah maksudnya apa. Apa saya itu terlihat terlalu naif dalam memahami sesuatu, begitu ? Apa si definisi naif yang sebenarnya ? Satu hal yang saya tau tentang naif, yaa itu nama sebuah band haahaa. Becanda yaa 😁. Naif itu terlalu lugu atau terlalu lurus gitu bukan si ? Kita cek saja yuu di kamus besar bahasa Indonesia.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, naif adalah sangat bersahaja; tidak banyak tingkah; lugu (karena muda dan kurang pengalaman). Atau bisa juga diartikan celaka; bodoh; tidak masuk akal.

Waw, ternyata naif itu definisinya banyak juga yaa. Mulai dari bersahaja sampai ke tidak masuk akal. Kira-kira saya termasuk kategori yang mana yaa ? 🙈

Lagi-lagi saya harus berpikir keras kenapa seseorang dapat disebut naif. Mungkin karna orang-orang yang dikatakan naif ini terkesan selalu berpikir positif atau lebih tepatnya terlalu positif. Selalu melihat sesuatu itu dengan cara pandang yang simple dan lurus. Tidak pernah berpikir negatif atau berpikir bahwa orang-orang di dekatnya akan berbuat jahat kepadanya.

Cuma memang saya sadari si, orang yang terlalu lugu atau berpikir lurus-lurus saja akan lebih mudah untuk di bohongi atau menjadi korban keisengan orang sekitarnya. Tapi karna keluguan itu juga mereka menjadi mudah disenangi orang-orang sekitarnya.

"Don't be naive ! Makanya, hidup itu jangan terlalu naif neng. "

Terkadang jika nasehat itu terdengar kembali di telinga, saya jadi merasa seakan-akan saya bukanlah orang bijak yang mampu bersikap dewasa untuk memahami suatu keadaan. Padahal menurut saya, saya tidak lugu-lugu amat, tidak lurus-lurus amat, dan saya juga merasa tidak naif, hanya saja saya memang tidak suka berpikir terlalu rumit apalagi sampai berpikir negatif terhadap suatu hal. Buat saya hal itu hanya akan menambah beban dan menghabiskan energi.

Tetapi, sekarang saya juga mulai berpikir, bahwa memang seharusnya dalam hidup kita tidak boleh terlalu naif. Ada kalanya kenyataan itu tidak berjalan sebagaimana baiknya pemikiran kita. Terkadang hidup memberikan kita kekecewaan, memberikan kita rasa sakit, hingga keluguan atau lurusnya pemikiran kita harus mengalah pada kenyataan itu sendiri.

#sabtulis #pekan9

Share:

Label Pena

Pena Terpopuler

Kawan Pena