Sabtu, 02 Juni 2018

Di balik 17 Ramadhan

Ditengah dinginnya malam. Waktu sahur pun masih terlalu dini aku pikir. Sayup-sayup aku mendengar suara Mamah memanggil-manggil namaku. Digoyang-goyangkan pula badanku.

"Teh, teh, bangun. Bangun, teh. Liat nih. Kayanya Mamah mau lahiran. Tuh air ketubannya udah pecah."

Mata kantukku tetiba terbelalak. Badan lunglaiku tetiba sigap terbangun dari kasur. Benar saja, aku melihat air ketuban itu sudah berceceran di lantai. Aku panik. Entah, apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Mengelap air ketuban yang berceceran? Menyiapkan perlengkapan persalinan? Atau aku harus mandi dulu? *Loh heehee.

Mamah yang melihat kepanikanku duduk memberikan komando. Katanya aku harus ke rumah tetangga terdekat untuk meminta bantuan. Maklum saat itu Bapak sedang tidak di rumah. Jika aku ingat-ingat, saat itu Mamah justru jauh lebih tenang dibandingkan aku, padahal beliau kan akan melahirkan. Benar yaa, Ibu tuh emang zuppeerrr!

Setelah meminta bantuan tetangga, akhirnya kami mendapatkan mobil untuk membawa Mamah ke rumah sakit. Tahun 2012 (waktu dimana kisah ini terjadi) itu ada bantuan dari pemerintah untuk biaya persalinan, namanya JAMPERSAL. Kalau sekarang, semua yang berhubungan dengan kesehatan termasuk biaya persalinan sudah masuk ke dalam BPJS Kesehatan.

Obrol-obrol soal JAMPERSAL, karena hal inilah perjalanan persalinan Mamah jadi begitu dramatis. Bagaimana tidak, Mamah dengan kondisinya yang sedemikian rupa, hamil dengan umur 44 tahun, ketuban sudah pecah,
ditolak oleh 3 rumah sakit dengan berbagai macam alasan. Emosi? Tidak perlu ditanya. Saat itu sumpah serapah terhadap pemerintah sudah tak terbendung lagi, terutama pada 3 rumah sakit tersebut.

Aku emosi bukan karna lelahnya perjalanan. Bukan karna dinginnya semilir angin mobil kolbak yang kami taiki. Aku emosi karna ada 2 nyawa yang sedang mereka permainankan. Nyawa Mamah dan calon adik baruku.

Sepanjang perjalanan aku hanya berdo'a semoga mereka berdua baik-baik saja. Semoga Allah memberikan jalan keluar. Tidak menggunakan JAMPERSAL pun tidak apa-apa, asal mereka cepat mendapatkan tindakan. Akhirnya tetanggaku berinisitif membawa Mamah ke rumah sakit swasta. Alhamdulillah Mamah langsung mendapat tindakan medis. Tapi, rasa mulas yang terasa saat dini hari sudah tidak muncul lagi. Ini membuatku ketar-ketir. Pikiran buruk mulai menguasaiku. Bagaimana kondisi mereka sebenarnya.

Disisi lain, aku diminta menghadap dokter dan staf rumah sakit. Dengan rasa gugup aku datangi mereka. Mereka bilang ibuku baik-baik saja, anak dalam kandungannya pun baik-baik saja. Tapi, air ketuban yang merupakan pelumas saat melahirkan, sudah hampir habis. Hal itu menyebabkan Mamah tidak diperbolehkan melakukan persalinan normal. Juga karna umur yang sudah melebihi kepala empat. Mereka bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi, air ketuban hampir habis. Dan aku ceritakan semua kronologis yang terjadi.

Setelah itu, aku diminta untuk mengisi formulir persalinan caesar. Disana tercantum nominal yang cukup besar. Mencapai belasan juta. Entah  bagaimana cara kami membayarnya nanti.

Jam 8 tepat operasi dimulai. Aku menunggu dengan panik. Sesekali aku mendengar ada suara orang meronta kesakitan dan meminta pertolongan. Aku pikir itu suara Mamah. Tapi nyatanya bukan.

Aku lupa tepatnya pukul berapa, tapi tetiba ada suara suster memanggil nama keluargaku. Membuyarkan semua halusinasiku. Ternyata operasi sudah selesai. Suster memperlihatkan gadis mungil dengan wajah berwarna merah kepadaku. Aku panggil gadis mungil itu dengan sebutan "Eneng", lalu gadis mungil itu membalas dengan senyum manisnya. Seakan ia mengerti, bahwa yang menyapanya adalah keluarganya. Ya Allah, sungguh, tidak ada kata yang mampu menggambarkan ekspresi kegembiraanku saat itu. (Bersambung)

#sabtulis #pekan22

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Label Pena

Pena Terpopuler

Kawan Pena