• Untitle

    Mengutarakan apa yang tak mampu terucap. Lewat pena ku tuturkan segala yang ingin ku ungkapkan.

  • Sudut Pandang

    Menyoroti sesuatu dari kacamata seorang awam. Bisa benar atau juga salah. Tidak perlu saling menghakimi, kita hanya perlu saling menasehati dan menghargai segala perbedaan.

  • Ceracau

    Menulis menjadi suatu hal yang baru. Sulit, namun terasa begitu menyenangkan. Membagi sesuatu yang kita rasakan atau kita pikirkan kepada oranglain. Berharap semua membawa kebermanfaatan.

  • Sajak

    Melatih rasa dan membahasakan sesuatu yang di rasa. Melankolis katanya. Namun itu dapat melunakkan hati yang keras, dan mempesona hati yang lembut.

Sabtu, 26 Mei 2018

Menunggu Ide

Sudah hampir tengah malam. Tepatnya pukul 22:30 atau jam setengah sebelas malam. Hari ini adalah hari yang biasa aku pakai untuk menulis. Tapi sudah hampir diujung hari, aku tak kunjung juga menulis. Entah mataku sedang tidak bersahabat dengan keinginanku. Mata dengan otak terasa tidak singkron. Mataku lelah dan ingin terpejam, tapi otakku masih berusaha mengontrol dan memberi suggesti pada mata agar mau sedikit menunggu lagi.

Mata sudah aku kondisikan agar tetap terbuka, bukan terpejam. Aku hanya perlu menunggu ide yang akan dikeluarkan oleh otakku untuk kemudian aku tulis. Sesekali mataku terpejam, ini adalah gerakan reflek ketika aku mencoba untuk berpikir lebih keras. Hasilnya lumayan, beberapa kata mulai muncul diotakku. Tapi aku bukan hanya memerlukan beberapa kata, aku membutuhkan ide untuk merangkai kata-kata tersebut menjadi rangkaian kalimat yang baik.

Ide. Ide. Ide. Dimanakah dikau berada. Rangkaian kalimat tidak usai-usai aku rampungkan. Rangkaiannya selalu berantakan. Aku butuh ide, agar rangkaian kalimat ini tidak aku hapus lagi secara berulang kali. Aku juga butuh teman santap malam sepertinya, agar mataku tetap berada dikoridornya.

Aku sedang menunggu ide. Jika ide ini tidak kunjung datang, maka aku tidak bisa menulis.

------------------sunyi-------------------

------------------berpikir-------------------

------------------zzzzzzzzz-------------------

ternyata aku tertidur beberapa menit dalam masa penantian ide ini.

----------------beberapa menit kemudian----------------

Tanpa pikir panjang aku tulis apapun kata yang terlintas dalam otakku. Berantakan. Iyaa, itu pasti, tapi dalam menulis ada proses editing, aku bisa edit tulisanku kembali setelahnya.

Benar saja. Ternyata setelah aku coba untuk langsung menulis, tulisan itu bisa aku rampungkan. Kata demi kata mengalir begitu mudahnya tanpa perlu menunggu ide terlalu lama.

Dasar, aku baru ingat bahwa ada kalimat bijak seperti ini:
"Ide itu tidak ditunggu. Menulislah, maka ide itu akan mengalir"

Mungkin setelah ini aku harus lebih sering mengingat kalimat bijak ini ketimbang harus menunggu ide saat ingin menulis. Heehee

#sabtulis #pekan21

Share:

Sabtu, 19 Mei 2018

AAD3R (Ada apa dengan 3 Ramadhan?)

"Teh ayo taraweh. Buruan. Udah adzan nih, entar kita ngga dapet sholat di dalem teh. Buruan teteeehhh"

Kebawelan seorang adik disetiap malam di bulan Ramadhan. Hari ini adalah hari ketiga Ramadhan. Dalam Islam, waktu magrib adalah waktu dimana hari mulai berganti. Bearti malam ini masuk malam keempat di bulan Ramadhan.

Adik saya berumur 5 tahun. Dia sangat khawatir tidak mendapatkan shaf sholat di dalam musolah. Maklum musolah terdekat dengan rumah tidak terlalu besar. Jadi ketika jumlah jama'ah banyak, sebagian orang harus rela sholat diluar masjid. Lebih tepatnya di jalan.

Pada awal puasa atau malam pertama puasa jumlah jama'ah membludak, entah berapa kali lipat. Seperti yang saya jelaskan di atas. Saya yang datang ke musolah pada saat adzan isya saja harus merasakan sensasi menjadi jama'ah jalanan, heehee. Maksudnya jama'ah yang sholat di jalan raya depan musolah karena shaf di dalam musolah sudah penuh.

Memasuki malam kedua, saya masih menjadi jama'ah jalanan, hanya saja jumlah jama'ah sedikit berkurang. Masuk malam ketiga, malam keempat, jumlah shaf makin menyusut. Jangankan jama'ah jalanan, shaf di dalam musolah saja tidak penuh.

Coba bayangkan, ini baru malam keempat, seminggu saja belum sampai tapi kesusutan jama'ah begitu drastis. Ini kalau dihitung, bikin rumus penyusutannya bagaimana yaa? Ckckck.

Fenomena lain adalah, jejeran shaf itu lebih banyak di isi oleh kalangan sepuh, sebut saja begitu. Kaula muda masih bisa dihitung menggunakan jari. Bahkan jumlahnya masih kalah banyak dengan tubuh-tubuh mungil nan menggemaskan. Saya jadi bertanya-tanya, dimanakah badan-badan tegap itu berada? Husnudzon saja kalau mereka sholat dirumah.

Perihal sholat taraweh. Ini memang ibadah sunnah, tidak diwajibkan. Tapi menurut saya, apakah kita mau melewatkan moment dimana pintu-pintu rahmat-Nya terbuka begitu lebarnya? Apa kita hanya akan menghidupkan Ramadhan di siang hari saja? Rasanya amat sangat disayangkan jika kita berpikir demikian.

Katanya generasi milenial. Masa getolnya cuma urusan Dunia. Emang generasi milenial selamanya bakal tinggal di dunia saja yaa? Heehee.

"Jika engkau berposisi di pagi hari, jangan tunggu hingga petang hari. Bila engkau berposisi di petang hari, jangan tunggu hingga pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu saat sebelum tiba sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidup kamu saat sebelum tiba matimu." (HR. Bukhari)

Yuk, saatnya generasi milenial melek dunia melek akhirat. Gaul tidak hanya perihal dunia, dengan ilmu akhirat juga bisa tetap gaul.

Salam.
Peace, love, and syar'i.
Ciri orang Milenial sejati.
Gaul mah itu sudah pasti 😎

#sabtulis #pekan20

Share:

Kamis, 17 Mei 2018

Sakit!

Sakit!
Rasanya seperti tercabik-cabik.
Bicara, sakit.
Diam, malah bertambah sakit.

Sakit!
Iyaa, sakit!
Kepalaku sakit!

Share:

Sabtu, 12 Mei 2018

Tentang Buku, bukan Bernostalgia

"Teh, koq banyak banget buku beginian? Ngapain si beli buku banyak-banyak?", pertanyaan random si Mamah saat melihat aku dengan buku-buku yang berserakan.

Seperti biasanya, si Mamah selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan random nya yang terkadang sulit sekali untuk aku jabarkan dalam sebuah kata-kata sebagai jawabannya. Tapi pertanyaan random kali ini masih sanggup aku jawab dengan baik dan tentu dengan mudah pula.

"Iyaa, ini kemaren ada temen yang nitip beliin buku, bukan punya teteh semua koq Mah", jawabku santai sambil tetap memegang buku karya idola baruku uda Fadhli Lukman .

Mungkin Mamah kaget karna melihat anaknya akhir-akhir ini lebih sering membeli buku bacaan ketimbang membeli baju. Yaa wajar saja beliau bertanya demikian, karna biasanya aku memang lebih sering membeli baju atau kerudung sih. Begitu pikirku.

Kali ini aku ingin sedikit menjabarkan alasan mengapa aku kini gemar membaca, pun juga menulis. Mungkin hal ini akan sedikit membawa kenangan lama, tapi aku tidak ingin menganggapnya sebagai nostalgia yaa. So, tak perlu berpikir demikian.

Perkenalanku dengan buku sebenarnya bukan baru-baru ini sih, mungkin sudah lama. Hanya saja ada pergeseran genre bacaan, dari komik menjadi buku-buku motivasi dan berunsur agama. Dulu aku terbiasa meminjam buku dari teman. Namun sekarang aku menghindari meminjam, aku akan membeli apapun buku yang menurutku menarik agar bisa aku baca berulang-ulang.

Aku sebenarnya perlu berterimakasih pada seseorang. Seseorang yang meski secara tidak langsung sudah memperkenalkan aku pada buku-buku bergenre selain komik. Tapi, aku tidak akan menyebutkan namanya disini. Biarlah dia menjadi rahasia saja meski mungkin dia akan lebih sering aku sebut di tulisanku kali ini.

Dia adalah seorang teman, teman bercengkrama, teman berdiskusi banyak hal, teman yang aku anggap sebagai guru, teman yang pernah menempati sedikit ruang di dalam hati (aku sebenarnya tidak yakin, dia menempati sedikit atau menguasai hati, tapi biarkan aku tulis demikian), juga teman yang karenanya aku harus berusaha keras mengalihkan duniaku agar kembali dari dunia mimpi. Dia teman, yang karenanya aku bangkit lewat buku-buku sebagai pelarian juga penyembuh yang mujarab.

Pelarian? Iyaa. Memang perkenalanku dengan buku-buku adalah karna sebuah pelarian. Pelarian dari kenyataan yang membuatku sempat terpuruk. Kenyataan yang menyita begitu banyak energiku. Sakit hingga turun berat badan. Tidak fokus pada semua pekerjaan. Juga tak peduli pada apapun yang ada disekitarku. Pelarian. Iyaa. Buku adalah pelarian bagiku. Saat itu.

Aku tidak akan menjabarkannya lebih jauh mengenai bagaimana perjalanan pelarianku itu. Cukuplah hanya sedikit aku bahas, agar tidak lagi membuka kenangan lama yang sudah teramat jauh lembarannya tertutup.

Semua sudah berjalan satu tahun. Maksudku tentu perkenalanku dengan buku-buku. Saat ini buku bukanlah sebuah pelarian. Buatku kini buku adalah teman. Teman penyemangat hidup untuk terus memperbaiki diri. Pun tentu sebagai teman pengganti dirinya. Aku kini senang mengumpulkan buku, terkadang aku juga berbagi cerita kepada teman tentang buku yang baru selesai aku baca. Aku juga tak segan untuk meminjamkannya jika memang temanku tertarik.

Jika ditanya berapa banyak koleksi buku yang aku punya, aku hanya bisa menjawab, jumlahnya masih sangat sedikit. Karna sebenarnya agak sulit bagiku menentukan buku yang menarik. Aku sebenarnya kurang tertarik pada novel. Meskipun diantara koleksi buku yang aku punya ada beberapa berjenis novel. Buku tersebut aku beli secara random. Aku lebih tertarik pada buku berisi motivasi dan puisi. Entah apa karna aku itu terlalu melankolis, tapi kalimat yang terkesan manis dan puitis selalu saja sukses membuatku jatuh hati. Kini aku sedang mengumpulkan buku karya Sapardi Djoko Darmono dan Pramodya Ananta Toer. Baru satu yang aku punya dan itu pun masih menjadi PR bacaanku.

Dari buku-buku itulah minat bacaku mulai tumbuh. Tumbuh lebih besar dari yang terdahulu. Bukan hanya membaca, tapi aku juga mulai terinspirasi untuk menulis. Meskipun aku tau tulisanku terkadang terkesan tidak konsisten karna gaya tulisan yang berbeda-beda disetiap tulisannya, tapi setidaknya menulis bisa membuatku nyaman. Jika di dunia nyata suaraku jarang terdengar atau di dengar oranglain, tapi saat menulis aku seperti menemukan tempat baru dan teman baru yang dengan tulus mendengar (membaca) segala yang ingin aku sampaikan.

Mungkin setiap orang memiliki cara untuk membuat dirinya merasa nyaman. Pun untuk sekedar menyembuhkan diri dari segala luka, maksudku luka yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan kimia ataupun jamu tradisional. Bagiku, salah satu obat yang mujarab adalah dengan menulis. Menulis apapun yang ingin aku tulis.


*Untuk teman yang mungkin tidak pernah sadar memperkenalkanku pada buku dan kegemaran membaca, aku ucapkan terimakasih.

#sabtulis #pekan19
Share:

Sabtu, 05 Mei 2018

Aku, Bapak Disabilitas dan Ojol-nya

Terima kasihku pada paket dataku yang habis di waktu yang sebenarnya tidak tepat. Kamu memberiku pengalaman baru.

Hari sabtu. Hari dimana aku meluangkan waktu liburku untuk berada diluar rumah sejak siang hingga menjelang petang. Pagi ini seperti biasa aku terbangun dan mulai mengaktifkan handphone. Tentu bukan hanya handphone yang aku aktifkan, tetapi lengkap pula dengan paket datanya.

Aku mencoba membalas satu persatu pesan yang masuk ke what'sup ku, tetapi tidak ada satupun yang terkirim. Aku coba beberapa kali mematikan settingan paket dataku di handphone kemudian menyalakannya kembali. Aku pikir itu pasti karna hanphoneku yang error. Tapi ternyata sama saja, hasilnya pesanku masih tetap belum terkirim. Rasanya aku sudah putus asa. Sebab aku masih menunggu kabar dari beberapa grup penting di what'sup pagi ini.

"Pokoknya apapun yang terjadi hari ini aku harus tetap pergi keluar seperti biasanya."

Begitu gumamku dalam hati. Untungnya sisa pulsaku masih cukup untuk mengirim pesan singkat lewat sms. Aku coba menghubungi teman untuk mendapatkan kabar dimana dan jam berapa kami harus berkumpul.

"Jeng, nanti dimana yaa? Jaringan aku internetnya ngga bisa. Padahal kuota masih setengah gb lagi.", pesanku pada seorang teman.

"Di jalan sensor ya jam 1", jawab temanku.

"Ohh okeh", balasku lagi.

Setelah mendapatkan kabar itu, aku bersiap untuk berangkat ke tempat tujuan. Jam hampir menunjukkan pukul 1 siang. Aku mencoba kembali mematikan dan menyalakan lagi paket dataku, berharap jaringan internetku kembali normal. Tapi hasilnya nihil. Pesan-pesanku di what'sup masih saja tidak terkirim.

Dasar AKU. Terkadang memang sering sekali "Lemot". Kenapa tidak aku cek saja sisa kuota paket dataku. Lantas aku segera mengecek sisa kuotaku. Ternyata kuotaku habis. Terakhir aku cek masih tersisa setengah GB. Amat telat sekali untuk menyadari itu yaa. Aku bergegas pergi keluar rumah untuk mencari konter pulsa. Ternyata hampir semua konter dekat rumahku tutup. Tetanggaku yang biasa menjual pulsa secara "ecer" pun sedang kehabisan saldo.

Mengingat waktu yang nyaris melewati jam 1 siang, aku kembali menghubungi temanku dan memintanya untuk memesankan ojek online (selanjutnya akan ditulis ojol).

-Dan disinilah inti cerita ini dimulai-

"Udah dapet driver ya +62 822-xxxx-xxxx pak samar (maksudnya disamarkan)", pesan temanku.

"Okeh makasi yaa jeng", jawabku.

Aku kemudian menunggu si bapak ojol.

-10 menit pertama-

Aku putuskan untuk menghubungi si bapak. Ternyata yang menjawab CS. Katanya telepon yang anda hubungi sibuk. Baiklah. Aku kemudian mengirimkan pesan singkat lewat sms. Itu pun tidak mendapatkan balasan dari si bapak. Aku coba mengabari temanku.

"Drivernya di telepon sibuk jeng. Dia udah sampe mana yaa?"

"Aku sama juga ngga bales soalnya Bapaknya. Kamu coba sms dia juga ya"

"Udah jeng udah 2x blom di respon"

"Ternyata bapaknya tuna rungu, dia lagi cari alamat kamu"

DEG!!
Seketika itu aku kaget. Entah apa alasan pasti kekagetanku itu. Aku hanya merasa terpaku untuk beberapa detik setelah membaca kata "TUNA RUNGU". Tuna rungu? Driver ojol?.

Aku yang sedikit mengeluh karna menunggu si bapak sejak tadi, seketika terdiam. Keluhku terasa tidak berguna. Entah kenapa. Apa karna si bapak seorang penyandang disabilitas?

-5 menit berikutnya-

Si bapak ojol datang. Sepertinya ia merasa bersalah karna telah membuatku menunggu begitu lama. Dengan suara yang nyaris tidak terdengar jelas olehku, si bapak menjelaskan alasan keterlambatannya. Aku mencoba membaca gerak bibirnya, kemudian menjawabnya. Kira-kira seperti ini:

"Maaf mba tadi saya nyari alamat mba dulu."

"Iyaa pak ngga apa-apa. Ohh iyaa saya mau ke jalan sensor yaa Pak. Bapak tau jalannya?"

"Iyaa mba, tadi saya nyari alamat mba dulu. Ini kan yaa mba?" (Sambil menunjukkan layar Handphone nya yang bertuliskan alamat rumahku).

Bodohnya aku. Berharap bapak Samar memberi jawaban sesuai dengan pertanyaanku. Mulutku saja ditutupi masker, bagaimana si bapak bisa membaca gerak bibirku. Lagi-lagi "lemot" ku kambuh.

Sadar bahwa aku salah, aku langsung saja memberikan jempolku sebagai tanda bahwa aku mengerti yang ia sampaikan dan memaafkan keterlambatannya. Sesaat sebelum menaiki motornya, ia memberi aba-aba dengan tangannya. Sepertinya bapak Samar sedang memberi tau aku jika ingin belok ke kanan atau ke kiri maka arahkan saja dengan gerakan tangan seperti yang ia peragakan, begitupun juga dengan jalan lurus. Aku kembali memberikan jempolku sebagai tanda aku memahaminya.

Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam. Itu jelas saja. Bapak Samar tidak memungkinkan untuk mendengar suaraku kan? Begitupun aku, aku juga tak memungkinkan untuk membaca gerak bibirnya. Keterdiaman kami, aku menyukai suasana itu. Bagiku itu sangat nyaman. Karna aku memang tidak terbiasa banyak bicara dengan orang yang tidak aku kenal. Selama ini, ketika menggunakan ojol, aku harus terbiasa untuk menanggapi obrolan yang dilontarkan driver ojol. Terkadang aku tidak ingin menanggapinya, tapi rasanya itu tidak sopan. Tapi dengan bapak Samar, perjalanan ojol kali ini terasa berbeda saja bagiku.

Sepanjang perjalanan aku mencoba mengarahkan si bapak dengan gerakan tanganku.

"Belok kanan Pak", kataku sambil menunjukkan tangan berbelok ke arah kanan.

Mulutku reflek mengucapkan kata itu. Padahal saat itu dengan gerakan tangan saja sudah cukup. Tapi mungkin mulutku belum terbiasa dengan itu. Si bapak mengacungkan jempolnya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Diperjalanan. Di keterdiaman itu aku juga berpikir bagaimana caranya untuk mengatakan kata "Stop" atau "Disini aja Pak". Karna tidak mungkin bagiku untuk menepuk pundak si bapak. Ada batasan yang tetap harus aku jaga disitu. Terkadang gerakan reflek tanganku saja harus coba aku tahan dengan reflek otakku. Untung tanganku sigap merespon. Jika tidak, mungkin dengan cara si bapak berkendara, aku bisa setiap saat merangkul pinggang si bapak. Maklum, aku sedikit trauma dengan motor. Dua kali mengalami kecelakaan saat mengendarai motor membuatku takut. Butuh waktu lama untukku mengembalikan keberanianku untuk duduk di jok belakang motor, pun terlebih dengan membawanya sendiri. Aku masih belum berani.

Mendekati tempat tujuan. Entah ide darimana. Untuk mengatakan "Stop", tiba-tiba aku acungkan saja jempolku di samping kanan si bapak agar si bapak dapat melihat jempolku. Dan hebatnya si bapak, ia paham apa maksud acungan jempolku. Lalu si bapak menghentikan motornya. Ini keren menurutku.

Selama perjalanan aku merasakan kesalutan yang amat sangat. Bukan hanya pada si bapak yang tak berdiam atau berputus asa pada keterbatasannya, aku pun salut pada perusahaan ojol yang bersedia memberi kesempatan pada mereka penyandang disabilitas atau mereka "Kaum Pinggiran" yang mau berusaha mencari nafkah halal, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya.

Dari si bapak aku belajar banyak hal. Bahwa komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tidak melulu dengan lisan, isyarat pun bisa menjadi jembatan bagi dua orang yang ingin mengerti. Atau jika boleh membahas satu buah iklan, cukup dengan permen saja orang juga dapat berkenalan kan?

Tentang syukur. Si bapak juga mengajarkan aku tentang ini. Bersyukur pada Tuhan bahwa aku diberikan fisik yang sempurna. Bersyukur bahwa aku memiliki pekerjaan yang jika boleh aku merasa pekerjaanku lebih "Enak" dibandingkan si bapak. Tapi aku pun malu dengan si bapak. Malu karna terkadang aku masih sering mengeluh mengenai fisik sempurnaku ini. Tentang pekerjaanku yang mungkin jauh lebih sering aku keluhkan.

Kuasa Tuhan memang tak pernah ada yang bisa menerkanya. Pun tak pernah ada yang mampu menandinginya. Terkadang sentilan-sentilannya sukses membuat hamba-hambaNya takjub. Mulai dari sentilannya yang besar ataupun sentilan kecilNya. Tetap saja selalu mengena dihati.

#sabtulis #pekan18

Share:

Label Pena

Pena Terpopuler

Kawan Pena