Kamis, 29 April 2021

17 Ramadhan

Hari ini memasuki hari ke-17 di bulan Ramadhan. Setiap tahunnya, di bulan Ramadhan, hari ke-17 selalu mengingatkanku pada kejadian 9 tahun yang lalu. Di tahun tersebut, bulan ramadhan jatuh di bulan Agustus. Tanggal 5 Agustus 2012, di dini hari pukul 03.00 pagi, ibu ku membangunkanku. Bukan untuk sahur, tapi ibu membangunkanku dan memintaku untuk melihat ke arah lantai. Tercecer rembesan air yang mengalir dari kaki beliau. 

"Teh, bangun. Kayanya Mamah udah mau lahiran. Ini air ketubannya udah keluar", begitu kata Mamah.

Aku yang belum begitu sadar dari rasa kantuk, sontak terkejut bukan main. Apa yang harus aku lakukan? hanya itu yang ada dipikiranku. Sambil mencoba menyadarkan diri, aku bergegas mengganti pakaian, kemudian pergi menemui tetanggaku untuk meminta bantuan mengantarkan aku dan ibu ku ke rumah sakit. Saat itu dirumah hanya ada aku dan adik laki-lakiku. Ayahku sedang pergi membeli barang dagangan ke salah satu pasar di Jakarta.

Dengan modal keberanian, kami berangkat. Ditemani satu orang tetangga perempuan, kamu pergi ke rumah sakit dengan menaiki sebuah mobil terbuka. Ya, mobil terbuka. Mobil yang hanya memiliki 1 baris tempat duduk disamping supir. Aku dan adikku naik di bagian belakang mobil. Dingin. Kami kedinginan terkena angin di jam 03.00 pagi.

Saat itu ekonomi keluargaku sedang tidak baik. Kami mengandalkan surat bantuan pemerintah yang kala itu disebut Jampersal. Jaminan Persalinan. Kami pergi ke rumah sakit yang ditunjuk Jampersal. Sesampainya disana, laren hari itu hari Minggu, mereka bilang tidak ada dokter. Entah, benar demikian atau karena kami pengguna Jampersal maka mereka mengatakan seperti itu. Lalu, kami pergi mencari rumah sakit rujukan lain yang bisa menggunakan Jampersal. 

Kami pergi ke rumah sakit kedua. Entah, sudah berapa kain yang diganti ibu ku dalam perjalanan mencari rumah sakit ini. Dan, lagi-lagi sesampainya disana kami tidak dapat tempat. Hampir putus asa. Kami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit lain. Tidak menggunakan Jampersal pun tidak apa-apa, asalkan bayi yang ada didalam kandungan ibu ku bisa lahir selamat. 

Kami ikut saja kemanapun supir yang juga tetanggaku ini membawa kami pergi. Dia memutuskan untuk membawa ibu ku ke rumah sakit tempat adiknya dulu melahirkan. Rumah sakit swasta di daerah Beji. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa berdo'a supaya Allah memberi keselamatan pada calon adikku, juga ibu ku.

Sampai di rumah sakit ketiga. Para perawat sigap melayani ibu ku. Urusan administrasi aku tanda tangani saja. Tidak lagi perduli dengan Jampersal atau biaya apapun. Sesaat sebelum ke bagian administrasi, perawat mengatakan bahwa air ketuban ibu ku sudah mulai sedikit, kemungkinan harus melahirkan secara sesar. Ya, tidak apa-apa. Yang terpenting adalah kedua nya bisa selamat, pikirku.

Kami harus menunggu dokter datang. Operasi berjalan pukul 07.00 pagi. Baru selesai pukul 08.08 pagi. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Adik dan ibu ku selamat. Beberapa sat kemudian perawat membawa adikku keluar. Itulah pertama kali kami melihatnya. Bayi mungil, merah, dan sedikit mancung. 

Yang lucu dan yang selalu membuatku tertawa jika mengingat kejadian ini adalah aku dan adik laki-laki sempat ingin menandai adik baru kami dengan spidol. Apa kalian tau kenapa? Alasannya adalah karena kami takut adik kami ditukar. Mungkin terlalu banyak menonton sinetron, jadi pikiran kami sedikit aneh, haahaa.

Meskipun kejadian saat itu lebih banyak membuatku sedih karena penolakan dari beberapa rumah sakit, tapi Allah selalu memberikan kebahagian dibalik setiap kejadian. Bisa melihat adikku lahir selamat dan ibu ku sehat-sehat saja setelah melahirkan sesar, itu saja sudah membuatku tidak putus rasa syukur, tapi Allah memberi kami lebih. Allah turunkan keajaiban. Biaya persalinan yang kala itu harus dibayar dengan kurang lebih berjumlah 10 juta, Allah gratiskan. Pihak rumah sakit mengizinkan kami menggunakan Jampersal. Sungguh nikmat mana lagi yang bisa kami dustakan?

Alhamdulillah.

#RaMen
#Day17
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Label Pena

Pena Terpopuler

Kawan Pena