Apa itu Quarter Life
Crisis ??
Mari saya jabarkan
sedikit tentang Quarter Life Crisis. Istilah ini dikemukakan oleh Abby
Wilner lewat bukunya yang berjudul sama, yaitu Quarter Life Crisis yang
diterbitkan pada tahun 1997. Dalam Buku tersebut dijelaskan bahwa seseorang
yang memasuki usia 20-30an tahun akan berada pada fase dimana ia mengalami
kebingungan dan kegambangan dalam karir, hubungan, idealisme, dan mulai
mempertanyakan banyak hal mengenai tujuan hidup yang akan dijalaninya.
Beberapa hari lalu
manager saya membahas mengenai pengalamannya pada saat berada dalam kondisi Quarter
Life Crisis. Hal yang amat sangat mengganggunya pada saat usianya menginjak
seperempat abad adalah tentang pekerjaan. Idealisme dan realita ternyata begitu
amat berbeda. Tekanan yang begitu keras yang ia rasakan di kantor terdahulu
membuatnya berpikir bahwa ia harus move ke kantor baru dengan segera.
Bukan karena merasa tidak kuat atas tekanan yang datang, namun lebih pada
idealisme nya sendiri yang menantangnya untuk berkarya lebih baik dalam bidang
lain dan tempat lain. Meninggalkan perusahaan yang cukup ternama, dan
mengorbankan gaji besar untuk bekerja di tempat lain sebut saja lembaga sosial
yang notabene adalah lembaga non profit bergaji standar, tentu bukanlah hal
sepele, terlebih ia adalah seorang kepala rumah tangga. Namun gejolak muda
serta idealisme nya untuk berjuang demi umat membuatnya yakin untuk pindah.
Sungguh kisah yang sangat menginspirasi yaa. -Salut-
Siapa disini yang tengah
berada dalam rentang usia 20-30an ?
Kamu termasuk dalam
rentang usia itu kah ?
Kalau Saya si iyaa,
heehee.. Saya akan bahas sedikit tentang Quarter Life Crisis nya saya
dan bagaimana cara saya menghadapinya. Saya tidak tau seberapa bermanfaatnya
kisah saya ini, tapi Saya hanya ingin berbagi, seperti yang sudah dilakukan
oleh manager saya itu.
Saya kini berusia 25
tahun. Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami Quarter Life
Crisis, dimana saya mengalami kegalauan akan beberapa hal dalam hidup saya.
Jangankan berpikir, merasa saja tidak. Toh saya merasa baik-baik saja bahkan
bahagia-bahagia saja menjalani hidup, sampai ada satu fase dimana pada saat itu
membuat saya tersadar dan mulai berpikir tentang banyak hal. Saya menyebutnya
fase pendewasaan. Saya mulai berpikir tentang hidup yang ingin jauh lebih baik
dari sekarang, dan berusaha menantang diri sendiri untuk keluar dari zona
nyaman yang sudah terlalu lama saya jalani. Hal tersebut tentunya bukan tidak berdampak
apapun dalam keseharian saya dan kehidupan saya, tapi saya mencoba
menyiasatinya sebisa yang saya mampu lakukan. Mungkin itu adalah bagian dari
yang disebut Quarter Life Crisis. Berikut adalah sedikit dari Quarter
Life Crisis yang saya alami :
1. Galau pekerjaan,
pindah atau menetap
Saya sudah 2 tahun
bekerja di sebuah lembaga sosial dengan pekerjaan yang memang saya inginkan.
Menjadi seorang DBA meskipun masih level junior. Saya sangat menyukai bidang
saya. Bergelut dengan puluhan baris Query dan ribuan data bahkan lebih hampir
setiap harinya tidak membuat saya jenuh. Tapi entah mengapa sudah hampir 2
bulan ini ada rasa jenuh menghinggapi. Pekerjaan yang sudah menjadi ritual
rutin membuat pekerjaan itu semakin tidak menantang. Saya berpikir untuk pindah
kantor atau mungkin meminta untuk mutasi ke divisi lain, mencari sensasi baru
dari lingkungan atau pekerjaan yang baru. Mencoba keluar dari zona nyaman
mungkin akan lebih baik dan dapat menyelesaikan kegalauan saya. Tapi untuk itu
tentu saya juga harus berbenah diri dengan menambah kemampuan agar memiliki
daya jual pada saat pindah. Dan hal itu masih terus saya lakukan hingga
sekarang.
2. Ingin hidup mandiri
jauh dari orangtua
Mandiri memang tidak
dibuktikan dengan hidup ngekos dan jauh dari orangtua, tapi kebiasaan tinggal
bersama orangtua dan berada dalam bayang-bayang orangtua membuat saya berpikir
untuk sebentar saja merasakan bagaimana hidup ngekos dan mengatur semua
kebutuhan hidup sendiri. Yaa, saya memang tidak pernah jauh dari orangtua. Jangankan
pergi jauh, menginap sehari di rumah teman dengan jarak yang tidak jauh dari
rumah saya saja tidak boleh. Orangtua saya termasuk orangtua yang protektif
terhadap anak-anaknya, terlebih saya seorang perempuan. Saya sempat beberapa
kali mengajukan diri untuk di izinkan ngekos dekat dengan kantor, setidaknya
hanya untuk waktu 1 bulan saja, namun berkali-kali pula keinginan saya tidak
dipenuhi. Mereka khawatir karna maraknya pemberitaan tentang penganiayaan
terhadap perempuan diluar sana. Jujur hal itu sempat membuat saya kesal.
Sampai-sampai saya selalu sengaja pulang telat ke rumah. Memang bukan sikap
yang baik si untuk ngambek seperti itu, tapi saya hanya ingin mereka sedikit
mengerti bahwa saya ingin menghilangkan rasa penasaran saya saja, dan mengukur
seberapa mampunya saya untuk menjalani hidup ketika saya sendirian jauh dari
orangtua.
Karena selalu terbentur
oleh perizinan, saya berusaha mengintroskpeksi diri. Mungkin sikap Saya selama
ini memang masih jauh dari kata dewasa untuk dilepas seorang diri di dunia yang
begitu keras ini. Sepertinya keras kepala saya masih belum dikatakan cukup
untuk menaklukkan kerasnya dunia. Kini saya nikmati saja hidup bersama orangtua
dengan terus memperbaiki diri untuk mencapai kemandirian dan kedewasaan. Kalau kata
mamah saya, 'Nanti ada waktunya kamu jauh dari orangtua, menjalani hidup kamu
sendiri, dan sebebasmu mengaturnya ketika kamu sudah menikah'. Okeh, baiklah.
Saya hanya bisa tersenyum mengingat kalimat mamah itu.
3. Merasa kesepian dan
rindu suasana kampus
Point ini sebenernya
berhubungan dengan point 1. Jenuh dengan pekerjaan membuat saya merasa hidup
saya sepi. Merasa sendiri meskipun sebenarnya sedang berada dalam keramaian.
Kadang saya jadi suka 'autis' sendiri, asik sendiri dengan lagu-lagu yang saya
dengarkan melalui headset demi membunuh rasa sepi itu. Sepi itu membuat saya
juga rindu dengan masa-masa kuliah. Rindu dengan kegiatan kampus yang justru
lebih bervariasi dan menantang setiap harinya. Dagdigdug mengikuti kelas
seorang dosen killer, belajar kelompok untuk menyelesaikan tugas kampus atau
praktikum, sibuk rapat organisasi kampus, mengajar, dan tentunya rindu
nongkrong bareng temen-temen kampus.
Selain lagu, untuk
menghilangkan rasa sepi itu saya selalu menyempatkan untuk membaca buku, menghubungi
satu persatu teman-teman atau menyapa lewat grup chatting. Saya juga berusaha
untuk bertemu dengan teman-teman kampus, berusaha mengulangi lagi kegiatan yang
dulu biasa kami lakukan atau sekedar mengenang kembali cerita masa kuliah dulu.
Alhamdulillah, itu sudah sangat cukup mengobati setiap rindu yang datang
menghampiri lebih sering dari biasanya.
4. Galau melihat teman
dekat satu persatu menikah
Sebenernya ini adalah
puncak dari Quarter Life Crisis yang saya alami (duh jadi malu, heehee). Yaa, satu hal dalam
hidup saya yang membuat saya paling galau adalah tentang pernikahan. Satu
persatu teman SD, SMP, SMA, bahkan kuliah sudah menjalani fase kehidupannya
yang baru, menjadi istri atau menjadi suami. Di usia yang menginjak seperempat
abad ini, saya masih saja sendiri. Bukan karna masih betah melajang, hanya saja
Allah masih memberikan saya kesempatan untuk memperbaiki diri sedikit lebih
lama dibandingkan teman-teman saya yang lain.
Pertanyaan tentang
'Siapa pacarnya teh ?', 'Orang mana calonnya teh ?', 'Kapan nikahnya teh ?',
dan beribu-ribu pertanyaan bergenre sama sudah terbiasa terdengar di telinga
saya. Pertanyaan yang kadang membuat raut muka saya berubah menjadi
bertekuk-tekuk. Membuat senyum lebar saya seketika menyusut. Entah kenapa
pertanyaan itu seakan menjadi budaya dalam masyarakat yang selalu dipertanyakan
pada perempuan-perempuan seumuran saya. Membuat beban bagi orangtua saya. Yaa,
orangtua saya, bukan saya. Tapi berawal dari beban orangtua inilah pada
akhirnya beban yang sama seakan tersalurkan pula ke dalam diri saya.
Lama-kelamaan hal tersebut menjadi satu hal penting dan utama untuk dipikirkan.
Kemudian terbayanglah untuk membuat sayembara untuk mendapatkan hati ini dan
menjadi sosok penting dalam kehidupan saya. Haahaa, sungguh kalimat yang amat
sangat hiperbola. Tapi begitulah adanya, pernikahan di usia saya menjadi satu
hal yang paling menyita waktu dan pikiran. Hanya dengan do'a meminta pada Allah
agar disegerakan bertemu dengan pangeran berkuda putih yang siap membawa
iring-iringan tandu pernikahan ke rumah. (Waw, tambah lebay deh haahaa).
5. Malas mengurus
percintaan
Pernah mengalami
kegagalan membuat saya menjadi malas mengurus tentang percintaan. Pernah mencintai
seseorang dan merasa yakin bahwa dia lah yang akan menjadi yang pertama dan
terakhir membuat saya begitu semangat merancang kehidupan pasca menikah
bersamanya. Namun sayang, Allah berkehendak lain. Bukan disatukan dalam
pernikahan, Allah justru memberikan perpisahan. Semua rancangan yang sudah saya
buat nyaris sempurna itu seketika hancur. Hingga rencana Allah yang sebenarnya
adalah rencana paling baik, terlihat menjadi tidak baik menurut saya. Terlanjur
cinta saya menyebutnya. Sampai sekarang saya masih
berusaha untuk menerima semuanya, menerima bahwa apa yang di rencanakan Allah
adalah yang terbaik bagi saya.
Saya bukan seseorang
yang baru bertemu dengan kegagalan. Saya pernah gagal dalam olimpiade
matematika, saya juga pernah gagal masuk sekolah favorit, dan masih ada
kegagalan lain dalam hidup saya. Tapi kegagalan ini adalah kegagalan yang
memberi rasa berbeda, entah kenapa. Untuk kegagalan lain mungkin saya akan
mudah bangkit dan mencobanya kembali di lain waktu, namun kegagalan ini rasanya
membuat saya kapok, dan malas untuk mencobanya kembali. Tidak tau sampai kapan
rasa malas mencoba ini hadir, tapi yang pasti untuk saat ini saya hanya ingin
memberi jeda pada hati dan pikiran saya, mencoba menenangkannya dan berdamai
dengan masa lalu.
"Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...."
(Al-Baqarah : 286)
"Apakah manusia
itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman',
sedang mereka tidak di uji lagi?" (Al-Ankabut : 2)
Quarter Life Crisis pada akhirnya adalah sebuah fase yang tak bisa dihindari.
Disadari atau tidak semua orang yang mencapai usia ini akan mengalaminya. Kita
hanya perlu menikmatinya dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Saat kita
mengalami Quarter Life Crisis, pada saat itu pula kita mendapatkan
jawaban untuk mengatasinya. Tidak perlu takut atau khawatir terlalu sangat saat
semua itu datang. Ingat saja, bahwa semuanya adalah cara Allah mendidik dan
mendewasakan kita. Kita akan menemukan hikmah dalam setiap kejadian yang kita
alami. Ketika kita mampu menghadapinya dan kita lulus, akan ada banyak
kebahagiaan yang akan menyambutnya. Keep fighting guys!!
#sabtulis #pekan3
0 komentar:
Posting Komentar