Sabtu, 20 Januari 2018

Quarter Life Crisis


Apa itu Quarter Life Crisis ??

Mari saya jabarkan sedikit tentang Quarter Life Crisis. Istilah ini dikemukakan oleh Abby Wilner lewat bukunya yang berjudul sama, yaitu Quarter Life Crisis yang diterbitkan pada tahun 1997. Dalam Buku tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang memasuki usia 20-30an tahun akan berada pada fase dimana ia mengalami kebingungan dan kegambangan dalam karir, hubungan, idealisme, dan mulai mempertanyakan banyak hal mengenai tujuan hidup yang akan dijalaninya.

Beberapa hari lalu manager saya membahas mengenai pengalamannya pada saat berada dalam kondisi Quarter Life Crisis. Hal yang amat sangat mengganggunya pada saat usianya menginjak seperempat abad adalah tentang pekerjaan. Idealisme dan realita ternyata begitu amat berbeda. Tekanan yang begitu keras yang ia rasakan di kantor terdahulu membuatnya berpikir bahwa ia harus move ke kantor baru dengan segera. Bukan karena merasa tidak kuat atas tekanan yang datang, namun lebih pada idealisme nya sendiri yang menantangnya untuk berkarya lebih baik dalam bidang lain dan tempat lain. Meninggalkan perusahaan yang cukup ternama, dan mengorbankan gaji besar untuk bekerja di tempat lain sebut saja lembaga sosial yang notabene adalah lembaga non profit bergaji standar, tentu bukanlah hal sepele, terlebih ia adalah seorang kepala rumah tangga. Namun gejolak muda serta idealisme nya untuk berjuang demi umat membuatnya yakin untuk pindah. Sungguh kisah yang sangat menginspirasi yaa. -Salut-

Siapa disini yang tengah berada dalam rentang usia 20-30an ?
Kamu termasuk dalam rentang usia itu kah ?
Kalau Saya si iyaa, heehee.. Saya akan bahas sedikit tentang Quarter Life Crisis nya saya dan bagaimana cara saya menghadapinya. Saya tidak tau seberapa bermanfaatnya kisah saya ini, tapi Saya hanya ingin berbagi, seperti yang sudah dilakukan oleh manager saya itu.

Saya kini berusia 25 tahun. Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami Quarter Life Crisis, dimana saya mengalami kegalauan akan beberapa hal dalam hidup saya. Jangankan berpikir, merasa saja tidak. Toh saya merasa baik-baik saja bahkan bahagia-bahagia saja menjalani hidup, sampai ada satu fase dimana pada saat itu membuat saya tersadar dan mulai berpikir tentang banyak hal. Saya menyebutnya fase pendewasaan. Saya mulai berpikir tentang hidup yang ingin jauh lebih baik dari sekarang, dan berusaha menantang diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman yang sudah terlalu lama saya jalani. Hal tersebut tentunya bukan tidak berdampak apapun dalam keseharian saya dan kehidupan saya, tapi saya mencoba menyiasatinya sebisa yang saya mampu lakukan. Mungkin itu adalah bagian dari yang disebut Quarter Life Crisis. Berikut adalah sedikit dari Quarter Life Crisis yang saya alami :

1. Galau pekerjaan, pindah atau menetap
Saya sudah 2 tahun bekerja di sebuah lembaga sosial dengan pekerjaan yang memang saya inginkan. Menjadi seorang DBA meskipun masih level junior. Saya sangat menyukai bidang saya. Bergelut dengan puluhan baris Query dan ribuan data bahkan lebih hampir setiap harinya tidak membuat saya jenuh. Tapi entah mengapa sudah hampir 2 bulan ini ada rasa jenuh menghinggapi. Pekerjaan yang sudah menjadi ritual rutin membuat pekerjaan itu semakin tidak menantang. Saya berpikir untuk pindah kantor atau mungkin meminta untuk mutasi ke divisi lain, mencari sensasi baru dari lingkungan atau pekerjaan yang baru. Mencoba keluar dari zona nyaman mungkin akan lebih baik dan dapat menyelesaikan kegalauan saya. Tapi untuk itu tentu saya juga harus berbenah diri dengan menambah kemampuan agar memiliki daya jual pada saat pindah. Dan hal itu masih terus saya lakukan hingga sekarang.

2. Ingin hidup mandiri jauh dari orangtua
Mandiri memang tidak dibuktikan dengan hidup ngekos dan jauh dari orangtua, tapi kebiasaan tinggal bersama orangtua dan berada dalam bayang-bayang orangtua membuat saya berpikir untuk sebentar saja merasakan bagaimana hidup ngekos dan mengatur semua kebutuhan hidup sendiri. Yaa, saya memang tidak pernah jauh dari orangtua. Jangankan pergi jauh, menginap sehari di rumah teman dengan jarak yang tidak jauh dari rumah saya saja tidak boleh. Orangtua saya termasuk orangtua yang protektif terhadap anak-anaknya, terlebih saya seorang perempuan. Saya sempat beberapa kali mengajukan diri untuk di izinkan ngekos dekat dengan kantor, setidaknya hanya untuk waktu 1 bulan saja, namun berkali-kali pula keinginan saya tidak dipenuhi. Mereka khawatir karna maraknya pemberitaan tentang penganiayaan terhadap perempuan diluar sana. Jujur hal itu sempat membuat saya kesal. Sampai-sampai saya selalu sengaja pulang telat ke rumah. Memang bukan sikap yang baik si untuk ngambek seperti itu, tapi saya hanya ingin mereka sedikit mengerti bahwa saya ingin menghilangkan rasa penasaran saya saja, dan mengukur seberapa mampunya saya untuk menjalani hidup ketika saya sendirian jauh dari orangtua.

Karena selalu terbentur oleh perizinan, saya berusaha mengintroskpeksi diri. Mungkin sikap Saya selama ini memang masih jauh dari kata dewasa untuk dilepas seorang diri di dunia yang begitu keras ini. Sepertinya keras kepala saya masih belum dikatakan cukup untuk menaklukkan kerasnya dunia. Kini saya nikmati saja hidup bersama orangtua dengan terus memperbaiki diri untuk mencapai kemandirian dan kedewasaan. Kalau kata mamah saya, 'Nanti ada waktunya kamu jauh dari orangtua, menjalani hidup kamu sendiri, dan sebebasmu mengaturnya ketika kamu sudah menikah'. Okeh, baiklah. Saya hanya bisa tersenyum mengingat kalimat mamah itu.

3. Merasa kesepian dan rindu suasana kampus
Point ini sebenernya berhubungan dengan point 1. Jenuh dengan pekerjaan membuat saya merasa hidup saya sepi. Merasa sendiri meskipun sebenarnya sedang berada dalam keramaian. Kadang saya jadi suka 'autis' sendiri, asik sendiri dengan lagu-lagu yang saya dengarkan melalui headset demi membunuh rasa sepi itu. Sepi itu membuat saya juga rindu dengan masa-masa kuliah. Rindu dengan kegiatan kampus yang justru lebih bervariasi dan menantang setiap harinya. Dagdigdug mengikuti kelas seorang dosen killer, belajar kelompok untuk menyelesaikan tugas kampus atau praktikum, sibuk rapat organisasi kampus, mengajar, dan tentunya rindu nongkrong bareng temen-temen kampus.

Selain lagu, untuk menghilangkan rasa sepi itu saya selalu menyempatkan untuk membaca buku, menghubungi satu persatu teman-teman atau menyapa lewat grup chatting. Saya juga berusaha untuk bertemu dengan teman-teman kampus, berusaha mengulangi lagi kegiatan yang dulu biasa kami lakukan atau sekedar mengenang kembali cerita masa kuliah dulu. Alhamdulillah, itu sudah sangat cukup mengobati setiap rindu yang datang menghampiri lebih sering dari biasanya.

4. Galau melihat teman dekat satu persatu menikah
Sebenernya ini adalah puncak dari Quarter Life Crisis yang saya alami (duh jadi malu, heehee). Yaa, satu hal dalam hidup saya yang membuat saya paling galau adalah tentang pernikahan. Satu persatu teman SD, SMP, SMA, bahkan kuliah sudah menjalani fase kehidupannya yang baru, menjadi istri atau menjadi suami. Di usia yang menginjak seperempat abad ini, saya masih saja sendiri. Bukan karna masih betah melajang, hanya saja Allah masih memberikan saya kesempatan untuk memperbaiki diri sedikit lebih lama dibandingkan teman-teman saya yang lain.

Pertanyaan tentang 'Siapa pacarnya teh ?', 'Orang mana calonnya teh ?', 'Kapan nikahnya teh ?', dan beribu-ribu pertanyaan bergenre sama sudah terbiasa terdengar di telinga saya. Pertanyaan yang kadang membuat raut muka saya berubah menjadi bertekuk-tekuk. Membuat senyum lebar saya seketika menyusut. Entah kenapa pertanyaan itu seakan menjadi budaya dalam masyarakat yang selalu dipertanyakan pada perempuan-perempuan seumuran saya. Membuat beban bagi orangtua saya. Yaa, orangtua saya, bukan saya. Tapi berawal dari beban orangtua inilah pada akhirnya beban yang sama seakan tersalurkan pula ke dalam diri saya. Lama-kelamaan hal tersebut menjadi satu hal penting dan utama untuk dipikirkan. Kemudian terbayanglah untuk membuat sayembara untuk mendapatkan hati ini dan menjadi sosok penting dalam kehidupan saya. Haahaa, sungguh kalimat yang amat sangat hiperbola. Tapi begitulah adanya, pernikahan di usia saya menjadi satu hal yang paling menyita waktu dan pikiran. Hanya dengan do'a meminta pada Allah agar disegerakan bertemu dengan pangeran berkuda putih yang siap membawa iring-iringan tandu pernikahan ke rumah. (Waw, tambah lebay deh haahaa).

5. Malas mengurus percintaan
Pernah mengalami kegagalan membuat saya menjadi malas mengurus tentang percintaan. Pernah mencintai seseorang dan merasa yakin bahwa dia lah yang akan menjadi yang pertama dan terakhir membuat saya begitu semangat merancang kehidupan pasca menikah bersamanya. Namun sayang, Allah berkehendak lain. Bukan disatukan dalam pernikahan, Allah justru memberikan perpisahan. Semua rancangan yang sudah saya buat nyaris sempurna itu seketika hancur. Hingga rencana Allah yang sebenarnya adalah rencana paling baik, terlihat menjadi tidak baik menurut saya. Terlanjur cinta saya menyebutnya. Sampai sekarang saya masih berusaha untuk menerima semuanya, menerima bahwa apa yang di rencanakan Allah adalah yang terbaik bagi saya.

Saya bukan seseorang yang baru bertemu dengan kegagalan. Saya pernah gagal dalam olimpiade matematika, saya juga pernah gagal masuk sekolah favorit, dan masih ada kegagalan lain dalam hidup saya. Tapi kegagalan ini adalah kegagalan yang memberi rasa berbeda, entah kenapa. Untuk kegagalan lain mungkin saya akan mudah bangkit dan mencobanya kembali di lain waktu, namun kegagalan ini rasanya membuat saya kapok, dan malas untuk mencobanya kembali. Tidak tau sampai kapan rasa malas mencoba ini hadir, tapi yang pasti untuk saat ini saya hanya ingin memberi jeda pada hati dan pikiran saya, mencoba menenangkannya dan berdamai dengan masa lalu.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...." (Al-Baqarah : 286)

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak di uji lagi?" (Al-Ankabut : 2)

Quarter Life Crisis pada akhirnya adalah sebuah fase yang tak bisa dihindari. Disadari atau tidak semua orang yang mencapai usia ini akan mengalaminya. Kita hanya perlu menikmatinya dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Saat kita mengalami Quarter Life Crisis, pada saat itu pula kita mendapatkan jawaban untuk mengatasinya. Tidak perlu takut atau khawatir terlalu sangat saat semua itu datang. Ingat saja, bahwa semuanya adalah cara Allah mendidik dan mendewasakan kita. Kita akan menemukan hikmah dalam setiap kejadian yang kita alami. Ketika kita mampu menghadapinya dan kita lulus, akan ada banyak kebahagiaan yang akan menyambutnya. Keep fighting guys!!

#sabtulis #pekan3



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Label Pena

Pena Terpopuler

Kawan Pena